Sabtu, 28 Januari 2017

Proses Pembentukan Undang-Undang



Tata Cara Pembentukan Undang-Undang            Menurut pasal 20 ayat (1) UUD 1945, Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Secara teori, kekuasaan membentuk undang-undang disebut sebagai legislatif. Meskipun demikian, setiap rancangan undang-undang (RUU) harus dibahas dan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden kemudian disahkan oleh presiden dan berlaku sebagaimana mestinya. Dalam hal RUU yang telah di setujui bersama tidak disahkan oleh Presiden, dalam waktu tiga puluh hari RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib di undangkan.
            Dalam konteks kekuasaan legislatif (membentuk undang-undang) di Indonesia, pasca amandemen UUD 1945 dibentuk suatu lembaga negara  guna meningkatkan peran serta daerah-daerah yang berada di Indonesia dalam pengelolaan Negara khususnya pembentukan undang-undang dan pengawasan sekaligus sebagai bagian dari gagasan membentuk parlemen dua kamar (bikameral) yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD).[1]) DPD dibentuk dengan kewenangan yang sangat minimal, namun demikian harus dipandang bahwa DPD merupakan lembaga dalam kekuasaan legislatif (sebagai kamar kedua), membentuk undang-undang bersama dengan DPR (kamar kesatu) dalam sistem parlemen. Tentang pembentukan undang-undang, diamanatkan oleh pasal 22A UUD 1945 untuk diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Oleh sebab itu, ketentuan mengenai tata cara pembentukan undang-undang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.1.         Tahapan Dalam Pembentukan Undang-Undang            Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, tahapan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mencakup lima tahapan, yakni:a.       Perencanaan;
b.      Penyusunan;
c.       Pembahasan;
d.      Pengesahan/penetapan; dan
e.       Pengundangan.
Kelima tahapan tersebut harus ditempuh dalam setiap pembentukan peraturan perundang undangan, terutama undang-undangan.

a.         Perencanaan RUU Melalui Penyusunan Program Legislasi Nasional            
Dalam pembentukan undang-undang dilakukan secara terencana dan terarah sesuai prioritas dan kebutuhan masyarakat, karena itu pada tahap awal yang harus dilakukan adalah penyusunan program legislasi nasional (prolegnas). Prolegnas adalah instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara terencana, terpadu dan sistematis (pasal 1 angka 9). Prolegnas ini memuat program pembentukan undang-undang dengan judul RUU, materi yang ditaur dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang merupakan keterangan  mengenai konsepsi RUU yang meliputi:
1)      Latarbelakang dan tujuan penyusunan;
2)      Sasaran yang ingin diwujudkan; dan
3)      Jangkauan dan arah pengaturan. (pasal 19 ayat 1 dan ayat 2)
Dalam penyusunan prolegnas, penyusunan daftar RUU didasarkan atas:1)      Perintah UUD 1945;
2)      Perintah ketetapan MPR;
3)      Perintah undang-undang lainnya;
4)      Sistem perencanaan pembangunan nasional;
5)      Rencana pembangunan jangka panjang nasional;
6)      Rencana pembangunan jangka menengah nasional;
7)      Rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR; dan
8)      Aspirasi dan kebutuhan masyarakat. (pasal 18)
Penyusunan prolegnas dilakukan oleh DPR, DPD dan Pemerintah yang dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi (baleg). Hasil penyusunan prolegnas antara DPR, DPD dan Pemerintah disepakati menjadi prolegnas dan ditetapkan dalam bentuk keputusan DPR melalui rapat paripurna DPR. (pasal 21 dan pasal 22)

b.         penyusunan dan pengajuan RUU            
RUU bisa saja berasal dari DPR, DPD dan Pemerintah/Presiden, dengan ketentuan:
1)      RUU yang diajukan oleh DPD adalah RUU yang berkaitan dengan :
a)      Otonomi daerah;
b)      Hubungan pusat dan daerah;
c)      Pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah;
d)     Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya;
e)      Pertimbangan keuangan pusat dan daerah.
2)      RUU yang berasal dari DPR, Presiden dan DPD harus disertai dengan naskah akademik, kecuali untuk RUU tentang APBN, RUU tentang penetapan PERPU menjadi undang-undang dan RUU tentang pencabutan PERPU  tidak harus disertai naskah akademik, namun harus disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran materi muatan yang diatur.
3)      RUU baik yang berasal dari DPR, DPD ataupun Presiden disusun berdasarkan prolegnas. Kecuali dalam keadaan tertentu, DPR, DPD maupun Presisden dapat mengajukan RUU diluar prolegnas untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam, dan keadaan tertentu lainnya yang dapat dipastikan adanya urgensi nasional atas RUU dapat disetujui bersama oleh Badan Legislasi (baleg) DPR dan Menteri Hukum dan HAM. (pasal 43 dan pasal 45)
Selajutnya RUU yang berasal dari DPR, DPD maupun Presiden akan dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi di bandan legislasi DPR  sebagai proses untuk Memastikan bahwa RUU yang disusun telah selaras dengan Pancasila, UUD 1945, dan undang-undang lain Teknik penyusunan peraturan perundang-undangan serta Menghasilkan kesepakatan terhadap substansi yang diatur dalam RUU. (pasal 46, 47 dan 48)            Secara teknis tata cara pengajuan RUU oleh DPR diatur dalam Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, untuk DPD diatur dalam Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib, dan tata cara pengajuan RUU oleh Presiden diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 Tentang tata cara mempersiapkan Rancangan Undangan-Undangan, Rancangan PERPU, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden.

c.         Pembahasan Rancangan Undang-Undang            
Pembahasan materi RUU antara DPR, DPD dan Presiden  melalui dua tingkat pembicaraan. Tingkat satu, adalah pembicaraan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat badan legislasi, rapat badan anggaran atau rapat panitia khusus. Tingkat dua, adalah pembicaraan dalam rapat paripurna (pasal 67). Pengaturan sebelum adanya putusan MK 92/PUU-X/2012 DPD hanya ikut serta dalam pembahasan tingkat satu (pasal 65), namun setelah putusan MK 92/PUU-X/2012, DPD ikut dalam pembahasan tingkat dua. Namun peran DPD tidak sampai kepada ikut memberikan persetujuan terhadap suatu RUU. Persetujuan bersama terhadap suatu RUU tetap menjadi kewenangan Presiden dan DPR.
            Jika RUU tersebut berasal dari Presiden, maka DPR dan DPD akan memberikan pendapat dan masukannya. Jika RUU tersebut berasal dari DPR, maka Presiden dan DPD akan memberikan pendapat dan masukannya. Jika RUU tersebut berasal dari DPD, maka Presiden dan DPR akan memberikan masukan dan pendapatnya. (Pasal 68 ayat 2)
d.         Pengesahan Rancangan Undang-Undang Menjadi Undang-Undang                Setelah ada persetujuan bersama antara DPR dan Presiden terkait RUU yang dibahas bersama, Presiden mengesahkan RUU tersebut dengan cara membubuhkan tanda tangan pada naskah RUU. Penandatanganan ini harus dilakukan oleh presiden dalam jangka waktu maksimal 30 hari terhitung sejak tanggal RUU tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Dalam hal presiden tidak menandatangani RUU tersebut sesuai waktu yang ditetapkan, maka RUU tersebut otomatis menjadi undang-undang dan wajib untuk diundangkan. Jika hal itu terjadi maka kalimat pengesahannya berbunyi “Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan pasal 20 ayat 5 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Namun jika Presiden menandatangani sebuah RUU, Segera setelah itu Menteri Sekretaris negara memberikan nomor dan tahun pada UU tersebut. (pasal 73)
e.         Pengundangan
            pengundangan adalah penempatan undang-undang yang telah disahkan ke dalam Lembaran Negara (LN), yakni untuk batang tubung undang-undang, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) yakni untuk penjelasan undang-undang dan lampirannya. Sebelum sebuah undang-undang ditempatkan dalam LN dan TLN, Menteri Hukum dan HAM terlebih dahulu membubuhkan tanda tangan dan memberikan nomor LN dan TLN pada naskah undang-undang. Tujuan dari pengundangan ini adalah untuk memastikan setiap orang mengetahui UU yang akan mengikat mereka. (Pasal 81)
2.         Penyebarluasan Undang-Undang            

Penyebarluasan undang-undang yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara (LN) Republik Indonesia dilakukan dilakukan secara bersama-sama oleh DPR dan Pemerintah. Penyebarluasan undang-undang sebagaimana dimaksud dapat dilakukan oleh DPD sepanjang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sunber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. (pasal 90)

[1]               Suhendra., et.al., Penguatan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Dalam Bingkai Bikamerisme, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri,      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar