I. Konstitusi
dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945
A. Konstitusi
Kata konstitusi berasal dari bahasa
Perancis “constituer” yaitu sebagai suatu ungkapan yang berarti membentuk.[1])
Oleh karena itu, pemakaian kata konstitusi lebih dikenal untuk maksud sebagai
pembentukan, penyusunan atau menyatakan suatu negara. Dengan kata lain, secara
sederhana, konstitusi dapat diartikan sebagai suatu pernyataan tentang bentuk
dan susunan suatu negara, yang dipersiapkan sebelum maupun sesudah berdirinya
negara yang bersangkutan.[2])
Namun secara terminologi, konstitusi
tidak hanya dipahami dengan arti yang sesederhana itu. Konstitusi dipahami
secara lebih luas, selain dikarenakan oleh kompleksitasnya permasalahan
mendasar yang harus diatur oleh negara, juga dikarenakan oleh perkembangan
pemikiran terhadap keilmuan dalam memahami konstitusi sebagai hukum dasar (gronwet)
dalam suatu negara serta pemahaman terhadap konstitusi telah dilakukan dengan
berbagai pendekatan.[3])
Dari catatan sejarah klasik terdapat
dua perkataan yang berkaitan erat dengan pengertian yang sekarang tentang
konstitusi, yaitu dalam perkataan Yunani Kuno politeia dan perkataan bahasa Latin constituio yang juga berkaitan dengan kata jus.[4])
Dengan perkataan lain, pengertian konstitusi pada jaman itu masih
bersifat materiil,[5])
Sedangkan terminologi modern konstitusi saat ini yang dijadikan rujukan
adalah bahasa Inggris, Jerman, Prancis, Italia dan Belanda.[6])
Untuk pengertian dalam bahasa inggris constitution,
bahasa Belanda membedakan antara constitutie
dan grondwet sedangkan bahasa Jerman
membedakan antara verfassung dan grundgesezt demikian pula dalam bahasa
Prancis dibedakan antara droit
constitutionale dan loi
constitutionale.[7])
Istilah yang pertama identik dengan pengertian konstitusi, sedangkan yang
kedua adalah Undang-Undang Dasar dalam arti yang tertuang dalam naskah
tertulis.[8])
Keanekaragaman dalam memahami
konstitusi dapat dilihat dari pandangan yang diberikan ahli dalam berbagai
literatur. C.F Strong lewat bukunya yang berjudul Modern Political Constitutions, An introduction The Comparative Studi
of Their History and Existing Form, seperti yang dikutip oleh Nomensen
Sinamo, berpendapat :
“
a constitions may be said to be a collection of principles according to which
the power of the goverment, the rights of goverment, and the relations between
the two are adjusted”.[9])
Terhadap pendapat C.F Strong
tersebut, menurut Nomensen ada tiga unsur yang dapat ditemukan dalam definisi
Strong tersebut, yakni : pertama, prinsip-prinsip mengenai kekuasaan
pemerintahan. Kedua, prinsip-prinsip mengenai hak-hak warga negara dan ketiga,
prinsip-prinsp mengenai hubungan antara warga negara dengan pemerintah.[10])
Hamdan Zoelva lewat karyanya yang berjudul Mengawal
Konstitualisme mengatakan : [11])
“
Dalam Ilmu Negara dikenal syarat berdirinya sebuah negara, yaitu memiliki
wilayah, penduduk, pemerintah yang berdaulat dan pengakuan dari negara lain.
Dengan demikian, negara merupakan persekutuan penduduk (warga) atau kelompok,
yang menempati suatu wilayah tertentu, memiliki pemerintahan sendiri yang
berdaulat, dan keberadaannya diakui oleh negara lain
sebagai suatu negara yang berdaulat. Oleh karena negara sengaja diadakan oleh
warganya untuk mencapai tujuan bersama, maka negara memerlukan kerangka atau
norma dasar sebagai landasan untuk mencapai tujuan bersama itu. Norma dasar
sebagai hukum tertinggi itulah yang disebut konstitusi ”.
Berbagai cara lahirnya konstitusi
sangat tergantung pada latar belakang lahirnya suatu negara.[12])
Ada negara yang konstitusinya dibuat oleh badan pembentuk konstitusi (the framers of the constitution), ada
yang merupakan kumpulan perwakilan tokoh masyarakat yang berkehendak membentuk
negara (founding fathers). Ada juga
negara yang konstitusinya dibuat oleh badan pembentuk konstitusi, kemudian
disetujui oleh negara bagian yang membentuk negara atau disetujui oleh rakyat
melalui referendum atau persetujuan langsung oleh rakyat.[13])
Kerangka atau norma dasar itu didalamnya mencakup norma dasar dan
kerangka dasar bernegara, tujuan negara, cara penyelenggaraan kekuasaan negara,
serta hak-hak warga negara. Inilah yang disebut konstitusi.
Bagaimana berlakunya sebuah
kontitusi, Jimly Asshiddiqie berpendapat:[14])
“
Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas
kekuasaan yang tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu
negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber
legitimasi konstutisi itu rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan
raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah
yang disebut para ahli sebagai constituent
power yang merupakan kewenangan yang berada diluar dan sekaligus diatas
sistem yang diaturnya ”.
Dalam literatur dikenal adanya
kontitusi tertulis (written constitution) dan kontistitusi tidak tertulis (unwritten constitution). Konstitusi
tertulis disebut undang-undang dasar (Indonesia), grondwet (Belanda), grundgesetz
(Jerman), atau droit constitutionnel
(Perancis).[15])
Sementara itu yang tidak tertulis tetap disebut sebagai konstitusi tidak
tertulis (ongeschreven constitutie,
unwritten contitution) yang juga termasuk pengertian grund-norms atau norma dasar atau hukum dasar (basic principles).[16])
Dengan demikian kita dapat membedakan antara pengertian norma konstitusi dalam
teks (textually written constitutional
rules) atau konstitusi tertulis dan norma konstitusi dalam pikiran dan
perilaku nyata segenap warga negara (cognitively
perceived constitutional rules/actually working constitutional rules) atau
konstitusi tidak tertulis.[17])
Nilai konstitusi yang tidak tertulis itu adalah sebagai pikiran dan perilaku
segala warga negara, yaitu nilai-nilai dan norma hukum tata negara yang
dianggap ideal tetapi tidak tertulis juga harus diterima sebagai norma
konstitusi yang mengikat dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara. Nilai-nilai
dan norma yang dimaksud dapat berupa pikiran-pikiran kolegtif dan dapat pula
berupa kenyataan-kenyataan perilaku yang hidup dalam masyarakat negara yang
bersangkutan.[18])
Mengenai konstitusi tidak tertulis
ada sebagian ahli hukum menyebutnya sebagai konvensi ketatanegaraan (constitutional conventions) dan ada pula
yang menyebutnya sebagai kebiasaan ketatanegaraan (constitutional custom). namun Hal ini secara tegas dibantah oleh
Jimly Asshiddqie. Jmly mengatakan: [19])
“
konvensi tidak identik dengan kebiasaan. Dengan demikian, kebiasaan
ketatanegaraan juga tidak identik dengan konvensi ketatanegaraan. Kebiasaan
menuntut adanya perulangan yang teratur, sedangkan konvensi ketatanegaraan (the conventions of constitution) dapat
berbentuk kebiasaan, dapat pula berbentuk praktik-praktik (practices) ataupun constitutional
usages. Terhadap hal ini, yang penting adalah bahwa kebiasaan, kelaziman,
dan praktik yang harus dilakukan dalam proses penyelenggaraan negara, meskipun
tidak tertulis, dianggap baik dan berguna dalam penyelenggaraan negara menurut
undang-undang dasar. Oleh karena itu, meskipun tidak didasarkan atas ketentuan
konstitusi tertulis, hal itu tetap dinilai penting secara konstitusional (constitutionally meaningful). “
Pendapat diatas benar adanya sebab
jika kita cermati, jimly berusaha melihat konstitusi tidak tertulis secara
abstrak artinya secara keseluruhan sehingga konvensi ketatanegaran dan
kebiasaan ketatanegaran merupakan bagian dari konstitusi tidak tertulis. Maka kontitusi
tidak tertulis tidak hanya sebatas dalam pengertian konvensi tata negara,
demikian halnya dengan kebiasaan ketatanegaraan. Oleh karena itulah mengapa ia
menyebutnya konstitusi tidak tertulis itu sebagai nilai-nilai dan norma hukum
tata negara yang dianggap ideal tetapi tidak tertulis dan dianggap baik dalam
penyelenggaraan kegiatan bernegara.
Berangkat dari berbagai definisi
tentang konstitusi, menurut hemat penulis konstitusi adalah hukum dasar/hukum
tertinggi yang hidup dalam kegiatan penyelenggaraan negara baik tidak tertulis
(unwritten) berupa nilai-nilai yang
dipandang baik untuk digunakan dalam penyelenggaraan negara ataupun yang
tertulis (written/textually), sengaja
dibuat untuk mengatur penyelenggaraan negara dan jaminan akan hak dasar warga
negara.
B. Undang-Undang
Dasar Tahun 1945
Undang-undang
dasar adalah hukum dasar tertulis.[20])
Seperti yang telah dibicarakan sebelumnya bahwa undang-undang dasar merupakan
konstitusi tertulis (written
constitutions), grondwet
(Belanda), grundgesetz (Jerman), atau
droit constitutionnel (Perancis). Sesuai
dengan makna konstitusi, undang-undang dasar merupakan pengertian konstitusi
dalam arti sempit, dikatakan dalam arti sempit sebab secara terminologi
konstitusi mempunyai arti luas yaitu konstitusi tidak tertulis. Tidak tertulisnya
suatu konstitusi atau tertulisnya suatu konstitusi sebuah negara sangat
dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut oleh negara bersangkutan, misalnya
Inggris. negara yang menganut sistem hukum anglo
saxon. seperti yang dikatakan oleh C.F Strong bahwa timbulnya konstitusi
tertulis disebabkan karena pengaruh aliran kodifikasi.[21])
Paham kodifikasi ini sangat
terkenal dalam sistem hukum Eropa Continental.
Menyinggung tentang alasan penyebab
timbulnya undang-undang dasar, Lord Bryce mengemukakan empat alasan: [22])
a. Keinginan
dari rakyat untuk menjamin hak-haknya jika terancam dan untuk membatasi
tindakan-tindakan penguasa. Motif yang pertama ini terutama ditemukan dalam
negara dimana kekuasaan penguasa adalah sewenang-wenang.
b. Keinginan
dari yang diperintah ataupun dari yang memerintah, yang hendak menyenangkan
rakyatnya dengan jalan menentukan suatu sistem ketatanegaraan tertentu, yang
semula tidak jelas menjadi suatu bentuk tertentu menurut aturan-aturan yang
positif, agar supaya dikemudian hari tidak dimungkinkan terjadinya tindakan
yang sewenang-wenang dari para penguasa.
c. Keinginan
dari para pembentuk negara yang baru untuk menjamin adanya cara penyelengaraan
ketatanegaraan yang pasti dan dapat membahagiakan rakyatnya.
d. Keinginan
untuk menjamin adanya kerja sama yang efektif di antara negara-negara yang pada
mulanya berdiri sendiri-sendiri, disamping adanya kehendak untuk tetap memiliki
hak-hak dan kepentingan-kepentingan tertentu yang akan diurusnya sendiri.
Di Indonesia, konstitusionalisme dapat
ditelusuri sejak awal berdirinya negara Indonesia. Dalam hal ini, paham
konstitusionalisme tercermin dalam naskah tertulis konstitusi Indonesia, baik
UUD 1945, konstitusi RIS 1949, maupun UUDS 1950 dan perubahan UUD 1945. [23])
Secara singkat, para pendiri
negara Indonesia (the founding fathers)
menginginkan adanya paham konstitusionalisme dalam penyelenggaraan negara
Indonesia. Hal mana menurut Hamdan Zoelva, kehendak ini terlihat jelas dalam
pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang menyatakan: [24])
“...Maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan
indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar negara Indonesia yang terbentuk
dalam..., kalimat pembukaan undang-undang dasar tersebut jelas menunjukan
bahwa kehendak dan pernyataan kemerdekaan itu kemudian disusun dalam undang
undang dasar yang menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan Indonesia yang
merdeka. Dengan demikian konstitusinalisme merupakan prinsip penyelenggaraan
negara yang diniatkan sejak awal kemerdekaan Indonesia. Kemudian lebih tegas
lagi penjelasan UUD 1945 menyatakan, salah satu prinsip pemerintahan Indonesia,
yaitu sistem konstitusionil, yaitu
sistem pemerintahan yang berdasarkan konstitusi, yang menempatkan konstitusi
sebagai hukum dasar tertinggi dalam penyelenggaraan negara ”.
Undang-undang dasar negara republik
Indonesia tahun 1945 mempunyai sejarah panjang yang tidak lepas dari sejarah
sistem hukum Indonesia mulai dari pada awal terbentuknya negara Indonesia
hingga saat ini, UUD 1945 telah mengalami beberapa perubahan/amandemen dalam
beberapa periode tertentu, semua itu hanya semata-mata demi penyempurnaan
penyelenggaraan negara ke arah yang lebih baik.
Berikut sejarah singkat UUD 1945
mulai dari terbentuknya Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945 adalah
badan yang menyusun rancangan UUD 1945. Pada masa sidang pertama yang
berlangsung dari tanggal 28 Mei hingga 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan gagasan tentang "Dasar Negara"
yang diberi nama Pancasila. Pada tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang
terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam
Jakarta yang akan menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Setelah
dihilangkannya anak kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariah Islam
bagi pemeluk-pemeluknya" maka naskah Piagam Jakarta menjadi naskah
Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus
1945. Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada masa Sidang Kedua Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI). Nama Badan ini tanpa kata
"Indonesia" karena hanya diperuntukkan untuk tanah Jawa saja. Di
Sumatera ada BPUPKI untuk Sumatera. Masa Sidang Kedua tanggal 10-17 Juli 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia.
1. Periode berlakunya
UUD 1945
a. periode 18
Agustus 1945 - 27 Desember 1949
Dalam kurun waktu 1945-1950, UUD
1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan
dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X
pada tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa
kekuasaan legislatif diserahkan kepada KNIP , karena MPR dan
DPR belum terbentuk. Tanggal 14 November 1945, dibentuk Kabinet Semi-Presidensial (Semi-Parlementer)
yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan perubahan pertama dari sistem
pemerintahan Indonesia terhadap UUD 1945.
b. Konstitusi RIS 1949 (27 Desember 1949 -
17 Agustus 1950)
Pada masa ini sistem pemerintahan
indonesia adalah parlementer. Bentuk pemerintahan dan bentuk negaranya federasi yaitu negara yang di dalamnya terdiri dari negara-negara
bagian yang masing masing negara bagian memiliki kedaulatan sendiri untuk
mengurus urusan dalam negerinya. Ini merupakan perubahan dari UUD 1945 yang
mengamanatkan bahwa Indonesia adalah Negara
Kesatuan.
c. Periode UUDS 1950
(17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959)
Pada periode UUDS 1950 ini
diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi
Liberal. Pada periode ini pula kabinet selalu silih berganti, akibatnya
pembangunan tidak berjalan lancar, masing-masing partai lebih memperhatikan
kepentingan partai atau golongannya. Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan
sistem Demokrasi Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun,
maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal
tidak cocok, karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Beberapa
aturan pokok itu mengatur bentuk negara, bentuk pemerintahan, pembagian kekuasaan,
dan sistem pemerintahan Indonesia
d. Periode kembalinya ke UUD 1945 (5 Juli
1959 - 1966)
Karena situasi
politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak
saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD
baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan
Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai
undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang
Dasar Sementara 1950 yang berlaku pada waktu itu. Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945,
di antaranya:
1)
Presiden mengangkat Ketua
dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara
2)
MPRS menetapkan Soekarno sebagai
presiden seumur hidup
e. Periode UUD 1945 masa orde baru (11
Maret 1966 - 21 Mei 1998)
Pada masa Orde Baru (1966-1998),
Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan
konsekuen. Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga
menjadi konstitusi yang sangat "sakral", di antara melalui sejumlah
peraturan:
1)
Ketetapan MPR
Nomor I/MPR/1983 yang
menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak
berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya
2)
Ketetapan MPR
Nomor IV/MPR/1983 tentang
Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD
1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
3) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan
pelaksanaan Ketetapan MPR
Nomor IV/MPR/1983.
f. Periode Perubahan/Amandemen
UUD 1945
Salah satu tuntutan Reformasi 1998
adalah dilakukannya perubahan (amendemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang
tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan
tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan
yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu
"luwes" (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan
rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup
didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan
perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan
negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara
demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan
aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan di
antaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan
kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem
pemerintahan presidensial.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD
1945 mengalami 4 kali perubahan (amendemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum
dan Sidang Tahunan MPR yaitu:
1) Sidang
Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 → Perubahan Pertama UUD 1945
2) Sidang
Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 → Perubahan Kedua UUD 1945
3)
Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 → Perubahan Ketiga UUD 1945
4) Sidang
Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 → Perubahan Keempat UUD 1945. [25])
Sebelum dilakukan amendemen, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang
Tubuh (16 bab, 37 pasal, 49 ayat, 4 pasal aturan peralihan, 2 ayat aturan
tambahan) dan penjelasan. Setelah dilakukan 4 kali perubahan, UUD 1945 terdiri
atas pembukaan, batang tubuh (21 bab, 73 pasal, 170 ayat, 3 pasal Aturan
Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan) penjelasan dihapus. [26])
2. Muatan Materi Undang-Undang Dasar Tahun
1945
Undang-undang
dasar merupakan norma hukum tertinggi/hukum dasar (staatgrundgesetz) yang mengatur pokok-pokok penyelenggaraan negara
dan jaminan hak-hak dasar warga negara guna melindungi hak-hak itu secara
konstitusional. Dalam negara-negara moderen, hak-hak dasar warga negara yang
diatur dalam undang-undang dasar disebut sebagai hak asasi manusia. Sedangkan kekuasaan
negara dipisahkan dalam beberapa cabang kekuasaan negara (saparation of power), hal ini karena di pengaruhi oleh paham trias politica oleh montesqiueu yang
memisahkan kekuasaan negara itu kedalam 3 cabang kekuasaan negara yaitu : [27])
1) Legislatif
(membentuk undang-undang),
2) Eksekutif
(pelaksana Undang-undang),
3) Yudikatif
( penegakan undang-undang).
Meskipun
demikian, undang-undang dasar tahun 1945 tidak secara tegas memisahkan ketiga
kekuasaan itu. Adapun muatan materi suatu undang-undang dasar pada pokoknya
menggambarkan cita-cita suatu bangsa, garis besar, asas dan tujuan negara,
pengaturan tata tertib pelbagai negara, penyebutan hak-hak asasi manusia,
pengaturan tentang perundang-undangan, dan segala sesuatu yang bersifat
pengaturan secara mendasar, sehingga merupakan suatu frame work of the nation. [28])
Berkaitan dengan itu, undang-undang
dasar tahun 1945 memuat materi tentang susunan kenegaraan, hubungan antara
lembaga-lembaga negara, dan hubungan negara dengan warga negara. Hal ini diatur
dalam Bab I tentang Bentuk dan Kedaulatan, Bab II tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab V
tentang Kementerian Negara, Bab VI
tentang Pemerintah Daerah, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat, Bab VIIA
tentang Dewan Perwakilan Daerah, Bab VIIB tentang Pemilu, Bab VIII tentang Hal
Keuangan, Bab VIIIA tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Bab IX tentang Kekuasaan
Kehakiman, Bab IX tentang Wilayah Negara, Bab X tentang Warga Negara Dan
Penduduk khususnya Pasal 26, Bab XA tentang Hak Asasi Manusia khususnya Pasal
28I ayat (5), Bab XII tentang Pertahanan Dan Keamanan Negara, Bab XV tentang
Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan, Bab XVI tentang
Perubahan Undang-Undang Dasar, Aturan Peralihan, dan Aturan Tambahan.
[1] Ibid.,
hal. 101
[2] Ibid.,
[3] Ibid.,
[4] Jimly
Asshiddiqie, op.cit., hal. 71
[5] Ibid.,
hal. 72
[6] Ibid.,
hal. 95
[7] Ibid.,
[8] Ibid.,
[9] Nomensen
Sinamo I, op.cit., 101-102
[10] Ibid.,
[11] Hamdan
Zoelva, Mengawal
Konstitusionalisme, Cet ke-I, Konstitusi Press (Konpress), Jakarta, 2016, hal.
15
[12] Ibid.,
[13] Ibid.,
hal. 16
[14] Jimly
Asshiddiqie, op.cit., hal. 93
[15] Ibid.,
hal. 134
[16] Ibid.,
[17] Ibid.,
[18] Ibid.,
hal. 135
[19] Ibid.,
hal. 143-144
[20] Nomensen
Sinamo I, op.cit., hal. 17
[21] Jimly
Asshiddiqie, op.cit., hal. 118
[22] Nomensen
Sinamo I, op.cit., hal. 18
[23] Hamdan
Zoelva, op.cit., hal. 52
[24] Ibid.,
[25] Diakses Dari :http://asnic.utexas.edu/asnic/countries/indonesia/ConstIndonesia.html
[26]
Majelis Permusyawaratan Republik
Indonesia, Bahan Tayangan Materi Sosialisasi Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Sekretariat
Jenderal MPR RI, Jakarta, 2012, hal . 2
[27] Nomensen
Sinamo 1, op.cit., hal. 60
[28] Ibid.,
hal. 18