Tampilkan postingan dengan label Tax Amnesty. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tax Amnesty. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 Desember 2016

Tax Amnesty, Analisis UU Nomor 11 Tahun 2016



BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
          Negara indonesia adalah negara hukum, Unsur-unsur negara hukum Indonesia sebagai sebuah konsep nilai yang dipetik dari seluruh proses lahirnya negara Indonesia, dasar falsafah serta cita hukum negara Indonesia. Sesuai dengan pasal 1 ayat 3 UUD Tahun 1945, maka konsekuensinya segala warga negara harus menjujung tinggi hukum dengan tanpa terkecuali.  Dalam tingkat implementatif, bagaimana kongkritnya negara hukum Indonesia dalam kehidupan bernegara harus dilihat pada pasal-pasal Undang-Undang Dasar. Kaedah-kaedah yang terkandung dalam pasal-pasal UUD-lah yang menjadi kaedah penuntun bagi pelaksanaan pemerintahan negara yang lebih operasional. Konsistensi melaksanakan ketentuan-ketentuan konstitusi itulah yang dikenal dengan prinsip konstitusionalisme. Karena itu, jika konsep negara hukum bersifat abstrak maka konsep konstitusionalisme  harus menjadi lebih nyata dan jelas. Dengan adanya hukum diharapkan mampu mengendalikan segala aktivitas negara maupun organ-organ negara yang menjalankan kekuasaan negara sehingga tujuan hukum pun terwujud. Tujuan hukum tersebut yakni : keadialan (justice), kepastian hukum (certainty atau zekerheid) dan kegunaan (utility)[1].
          Secara sederhana, paham negara hukum di indonesia bukan hukum yang melegalkan segala cara untuk kepentingan negara semata-mata tetapi hukum yang berdasarkan pancasila, dimana untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara sebenarnya merupakan kontruksi yang diciptakan  oleh umat manusia (human creation) tentang pola hubungan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yag diorganisasikan sedemikian rupa untuk maksud memenuhi kepentingan dan tujuan bersama[2]. Karena itu dalam organisasi (negara) terdapat unsur pimpinan yang lazim disebut penguasa. di tempat terpisah Sudikno Mertokusumo mengatakan penguasa mempunyai kekuasaan untuk memaksakan sanksi terhadap pelanggaran kaidah hukum[3]. Menurutnya, hukum ada karena kekuasaan yang sah. Kekuasaan yang sahlah yang menciptakan hukum, kalau dikatakan hukum itu kekuasaan tidak berarti bahwa kekuasaan itu hukum[4]. Sangat jelas kiranya hubungan konseptual antara tujuan hukum dan tujuan negara indonesia sebagaimana yang termaktub dalam pancasila menurut para pakar tersebut diatas.
          Selanjutnya, dalam kehidupan bernegara, negara bertanggung jawab penuh atas keberlangsungan hidup rakyatnya. Pemerintah atas nama negara mengusahakan agar kehidupan rakyat bisa sejahtera sesuai dengan tujuan negara Indonesia, oleh karenanya negara membutuhkan dana. Memerlukan dana yang memadai untuk membiayai jalannya pemerintahan supaya hal-hal yang besifat pelayanan terhadap masyarakat tidak terkendala oleh karena alasan kekurangan anggaran.  
          Di Indonesia, sumber utama dari penerimaan keuangan negara ialah pajak. Sekarang ini pajak merupakan sumber penerimaan yang dominan dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hampir 70 persen penerimaan berasal dari sektor pajak. Bahkan pada tahun sekarang (2016), pendapatan negara Indonesia di sektor perpajakan mencapai 74,6 persen dari persentase keseluruhan
pendapatan negara[5].
          Lazimnya negara hukum bahwa segala kebijakan pemerintah harus berdasarkan hukum, pemerintah pun membentuk aturan untuk dijadikan sebagai dasar atau penuntun pengambilan kebijakan dibidang perpajakan. Pemerintah selalu berupaya untuk menjadikan sistem perpajakan di Indonesia menjadi lebih

baik. Perubahan sistem perpajakan dari tahun ke tahun juga merupakan salah satu upaya untuk menelaah keefektivitasan sistem tersebut dalam meningkatkan penerimaan pajak setiap tahunnya, maka dari itu Undang-Undang tentang Perpajakan selalu berubah setiap saat.  Salah satu  langkah konkret pemerintah dalam bidang pajak pada tahun sekarang (2016) ialah program tax amnesty (pengampunan pajak) yang dituangkan dalam undang-undang nomor 11 tahun 2016 tentang tax amnesty.

Kebijakan ini pun langsung menimbulkan pro dan kontra bagi beberapa pihak karena mengingat pelaksanaan program tax amnesty pada tahun 1984 dan 2008 tidak menimbulkan efek yang signifikan bagi peningkatan kepatuhan wajib pajak di Indonesia. Selain itu banyak pihak yang kontra karena kebijakan ini perlu kajian yang mendalam untuk dilakukan seperti kekuatan hukum, sistem administrasi yang harus memadai untuk mendorong wajib pajak lebih mudah membayar pajak, dan kajian lainnya. Terlepas dari fakta diatas, penulis berpendapat bahwa terdapat beberapa ketidakjelasan dalam pasal-pasal Undang-Undang ini jika dikaitan dengan asas Negara Hukum konstitusional dan perlu dikaji ulang terutama pasal-pasal yang sangat berpotensi bertantangan dengan UUD 1945, atas dasar pemikiran tersebut diatas, maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945”.


B.      IDENTIFIKASI MASALAH
          Melihat kenyataan yang ada, maka penulis mengidentifikasi masalah dalam bentuk pernyataan sebagai berikut:
1.    Dalam undang-undang nomor 11 tahun 2016 tentang tax amnesty yang disahkan Presiden pada tanggal 1 juli 2016 terdapat pasal-pasal yang kontra yuridis konstitusional, yakni: pasal 1 point 1, pasal 3 ayat 3, pasal 21 ayat 2 dan ayat 3, dan pasal 22.
2.    Membentuk hukum dengan isi materi yang seolah-olah melonggarkan subjek hukum yang melanggar hukum selain tindak pidana perpajakan.
3.    terlalu buru-buru dalam menanggapi permasalahan mengenai anggaran negara.


C. RUMUSAN MASALAH
          Berdasarkan identifikasi masalah yang ditetapkan diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.    Apa dasar pemikiran pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 ?
2.    Apa langkah yang senyatanya diambil pemerintah dalam menanggapi masalah terutama mengenai anggaran Negara?
 `       `

D. METODE PENELETIAN
          metode penelitian yang digunakan yaitu Metode Penelitian yang bersifat deskriptif. Penelitian dengan menggunakan metode deskriptif yaitu menerangkan, memaparkan tentang sesuatu hal, biasanya peneliti sudah mendapatkan atau mempunyai gambaran tentang masalah yang akan diteliti[6]. Adapun pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-normatif. Berkaitan dengan itu, Soerjono Soekanto mengatakan seorang peneliti yang menggunakan metode kualitatif, tidaklah semata-mata bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran belaka, akan tetapi untuk memahami kebenaran tersebut Apa yang menjadi latar belakang dari itu semua[7]. Ia juga mengatakan bahwa penelitian kualitatif tidak dapat dipisahkan dari analisis normatif.









BAB II
ANALISIS



A.      DASAR PEMIKIRAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016
kebijakan tax amnesty harus dilihat sebagai kebijakan ekonomi yang bersifat mendasar, jadi tidak semata-mata kebijakan terkait fiskal apalagi khususnya pajak. Jadi ini kebijakan yang dimensinya lebih luas, kebijakan ekonomi secara umum. Karena dari sisi pajaknya sendiri, dengan adanya tax amnesty maka ada potensi penerimaan yang akan bertambah dalam APBN baik di tahun ini atau tahun-tahun sesudahnya yang akan membuat APBN lebih sustainable. APBN lebih sustainable dan kemampuan pemerintah untuk spending atau untuk belanja juga semakin besar sehingga otomatis ini akan banyak membantu program-program pembangunan tidak hanya infrastruktur tapi juga perbaikan kesejahteraan masyarakat.

Jadi dari satu sisi adanya tax amnesty tahun ini dan seterusnya akan sangat membantu upaya pemerintah memperbaiki kondisi perekonomian, pembangunan dan mengurangi pengangguran, mengurangi kemiskinan serta memperbaiki ketimpangan. tetapi disisi lain, di sisi yang di luar fiskal atau pajaknya, dengan kebijakan amnesty ini yang diharapkan dengan diikuti repatriasi sebagian atau keseluruhan aset orang Indonesia di luar negeri maka akan sangat membantu stabilitas ekonomi makro. Apakah itu dilihat dari nilai tukar rupiah, apakah itu dilihat dari cadangan devisa, apakah itu dilihat dari neraca pembayaran atau bahkan sampai kepada likuiditas dari perbankan. Jadi kebijakan ini sangat strategis karena dampak yang sifatnya makro, menyeluruh dan fundamental bagi perekonomian Indonesia. catatan dirjen pajak, Kementrian Keuangan dalam situs resminya mengatakan, latar belakang tax amnesty antara lain:
a)   pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan.
b)   kepatuhan Wajib Pajak rendah karena:
- masih marak aktivitas ekonomi di dalam negeri yang belum dilaporkan   kepada otoritas pajak.
- masih banyak harta WNI yang berada di luar negeri yang belum dilaporkan dalam SPT.
c)    perlu terobosan kebijakan untuk mendorong pengalihan Harta ke Indonesia dan peran serta masyarakat untuk membayar pajak secara merata tanpa ada pembeda[8].
Sedangkan menurut konsideran bagian menimbang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang pengampunan pajak menyebutkan:
a)   “bahwa pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia bertujuan untuk memakmurkan seluruh rakyat Indonesia yang merata dan berkeadilan, memerlukan pendanaan besar bersumber utama dari pajak”.
b)   “bahwa untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak yang terus meningkat, diperlukan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dengan mengoptimalkan semua potensi dan sumber daya yang ada”.
c)    “bahwa kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya masih perlu ditingkatkan karena terdapat harta, baik didalam maupun diluar negeri yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam surat pemberitahuan pajak penghasilan”.
d)   “bahwa untuk meningkatkan penerimaan negara dan pertumbuhan perekonomian serta kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan, perlu menerbitkan kebeijakan pengampunan pajak”[9].
Atas dasar pemikiran seperti tersebut diatas maka di terbitkanlah oleh pemerintah kebijakan pengampunan pajak dan dituangkan dalam undang-undang.
Namun ada hal menarik yang perlu dikaji dalam hal ini yaitu yang berkaitan dengan subtansi Undang-Undang tersebut seperti yang penulis sebutkan diawal (lihat Bab 1 sub B point 1).

berdasarkan teori asas Negara Konstitusional (constitutional states), pembentukan Undang-Undang harus didasarkan pada prinsip konstitusional, terutama berkenaan dengan sifat peraturan perundang-undangan yang tertulis sebagai sumber hukum utama dan yang terutama. Undang-Undang tersebut bisa saja diamanatkan langsung oleh konstitusi/UUD 1945 atau perlu diatur selanjutnya oleh karena kebutuhan rakyat meskipun tidak diatur dalam konstitusi/UUD 1945 secara abtrak tetapi rakyat membutuhkannya. Dalam kepustakaan hukum di Indonesia, dikenal beberapa prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan, namun dapat kita bulatkan saja dalam dua prinsip dasar yaitu:  konstitusional formil dan konstitusional materiil. Hal mana, yang memberi legitimasi terhadap sebuah peraturan perundang-undangan. Konstitusional formil memberikan legitimasi terhadap lembaga mana yang berwenang membentuk undang-undang berdasarkan kewenangan yang diberikannya, sedangkan konstitusional materiil berkaitan dengan materi apa yang diatur oleh undang-undang berkaitan guna dikonkretkan lebih lanjut.
Sejalan dengan itu, Maria Farida .S mengatakan UUD 1945 menetapkan mengenai siapa pembentuk undang-undang[10]. Sedangkan apabila dilihat dari batang tubuh UUD 1945 maka ada delapan belas yang harus diatur lebih lanjut dalam ketentuan perundang-undangan[11]. Artinya Ia memisahkan antara dasar konstitusional pembentuk undang-undang dengan muatan materi dari suatu undang-undang meskipun tidak secara tegas Ia menyebutkannya. Dipertegas lagi oleh Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan perundang-Undangan pasal 1 point 3 menyebutkan “Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden”.
pasal 10 ayat (1) :
Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi:
a)   pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara   Republik Indonesia Tahun 1945;
b)   perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c)    pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d)   tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e)   pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Pasal ini memberi petunjuk mengenai materi muatan dari suatu undang-undang. Point (a) menegaskan pengaturan lanjut dari UUD 1945, point (b) memberi dasar hukum oleh undang-undang untuk diatur selanjutnya dengan undang-undang, demikian selanjutnya.
Bertalian dengan itu, sebenarnya undang-undang nomor 11 tahun 2016 tentang pengampunan pajak secara hukum telah memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, sebagaimana yang diatur dalam pasal 5 undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perudang-undangan[12]. Juga menggunakan prinsip konstitusional formil, hal mana dapat kita lihat dalam bagian mengingat undang-undang tersebut yang menyebutkan:
Mengingat :pasal 5 ayat (1), pasal 20 dan pasal 23A UUD RI Tahun1945.[13]
Namun yang menjadi permasalahan adalah bagaimana dalam merumuskan pasal 23A UUD 1945 dalam menjadikannya sebagai dasar konstitusional materiil ? artinya patutkah disebut bahwa undang-undang pengampunan pajak merupakan perintah dari pasal 23A UUD 1945 ?
UUD 1945 tidak secara tegas memerintahkan harus atau tidak seharusnya diatur lebih lanjut dalam ketentuan perundang-undangan lainnya seperti halnya undang-undang memerintah pengaturan teknis diatur oleh peraturan menteri. Hal yang sama juga dikatakan oleh Maria Farida .S bahwa UUD 1945 tidak pernah menyebut mengapa sesuatu masalah harus diatur dengan Undang-Undang sedangkan masalah yang lainnya tidak perlu[14]. Namun Ia mengatakan didalamnya ada petunjuk-petunjuk yang dapat dipakai untuk mencari dan menemukannya, caranya:
a)   Dari ketentuan batang tubuh UUD 1945;
b)   Berdasarkan wawasan negara berdasar atas hukum;
c)    Berdasarkan wawasan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi[15].

          Jika dibandingkan dengan pengertian pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum Perpajakan, dapat dirasakan bagaimana perbedaan makna pengertian pajak antara kedua Undang-Undang perpajakan ini. sangat jelas, sebab makna pajak dalam Undang-Undang pengampunan pajak dipengaruhi oleh variabel pengampunan.
          Betapapun kata pengampunan digunakan namun perlu dicermati bahwa Pasal 23A UUD 1945 menggunakan frasa “pajak dan pungutan lain bersifat memaksa”  pengertian “memaksa” dimaknai dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah memperlakukan, menyuruh, meminta dengan paksa[16]. Akan tetapi, pengertian frasa “pengampunan” pada Undang-Undang Pengampunan Pajak adalah pembebasan dari hukuman atau tuntutan. Kata memaksa, berati dapat dipaksakan jika dilanggar harus dikenakan sanksi. Seperti yang dikatakan oleh Nomensen Sinamo hukum yang memaksa (dwingen recht), yaitu aturan hukum yang tidak dapat di kesampingkan, sebagian besar merupakan hukum publik berbeda dengan hukum privat hanya sebagai hukum pelengkap (regelen recht) yang dapat dikesampingkan khususnya dalam buku III KUHperdata tentang perikatan[17].
          Terlepas dari ketidakjelasan pasal 1 point 1 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016 tentang pengampunan pajak, terdapat pula pasal pasal yang bersifat kontraversial, yakni pasal 3 ayat 3, pasal 21 ayat 2 dan ayat 3, dan pasal 22. Bunyi pasal pasal tersebut antara lain :
Pasal 3 ayat (3)
          “Dikecualikan dari ketentuan sebagaiman dimaksud dalam ayat (1), yaitu wajib pajak yang sedang:
a)   Dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap oleh kejaksaan;
b)   Dalam proses peradilan; atau
c)    Menjalani hukuman pidana, atas tindak pidana perpajakan”.
         
Pasal 21 ayat (2)
“ Menteri, wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pengampunan pajak, dilarang membocorkan, menyebarluaskan dan/atau memberitahukan data dan informasi yang diketahui atau diberitahukan wajib pajak kepada pihak lain”.
Ayat (3)
“Data dan informasi yang disampaikan wajib pajak dalam rangka pengampunan pajak tidak dapat diminta oleh siapapun atau diberikan kepada pihak manapun berdasarkan peraturan perundang-undangan lain, kecuali atas persetujuan Wajib Pakjak Sendiri”.
Pasal 22
“Menteri, wakil Menteri, pegawai Kementrian Keuangan dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pengampunan pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”.
Pasal-pasal diatas harus dipandang sebagai hukum artinya hukum tertulis yang dibuat oleh presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat atau oleh UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 menyebutkannya sebagai Undang-Undang[18], pengertian ini jika dikaitkan dengan paham Negara Hukum demokrasi maka Jimly Assiddhique berpendapat Undang-Undang merupakan produk demokrasi atau produk kehendak orang banyak, jika Undang-Undang telah dibahas dan disetujui bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden kemudian disahkan dan berlaku sebagaimana mestinya, berarti Undang-Undang yang bersangkutan telah mencerminkan kehendak politik mayoritas rakyat yang diwakili oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan aspirasi rakyat yang pemilih presiden yang mendapat dukungan mayoritas suara rakyat melalui pemilihan umum[19]. Namun disisi lain Ia mengatakan suara mayoritas rakyat yang tercermin dalam Undang-Undang tidaklah identik dengan suara seluruh rakyat yang tercermin dalam UUD tahun 1945, suara mayoritas rakyat tidak selalu identik dengan suara keadilan dan kebenaran konstitusi[20]. Ini berarti Undang-Undang merupakan pengaturan lebih lanjut untuk menjalankan amanat konstitusi/UUD 1945, Undang-Undang mempunyai kekuatan mengikat dan dapat dipaksakan keberlakuannya namun tidak berati Undang-Undang harus bertantangan dengan keadilan dan kebenaran UUD 1945. Dalam tingkat implementatif, bagaimana kongkritnya negara hukum Indonesia dalam kehidupan bernegara harus dilihat pada pasal-pasal Undang-Undang Dasar. Kaedah-kaedah yang terkandung dalam pasal-pasal UUD 1945lah yang menjadi kaedah penuntun bagi pelaksanaan pemerintahan negara yang lebih operasional. Konsistensi melaksanakan ketentuan-ketentuan konstitusi itulah yang dikenal dengan prinsip konstitusionalisme[21].
          Demikian halnya dengan pasal 3 ayat 3, pasal 21 ayat 2 dan ayat 3, dan pasal 22 Undang –Undang Nomor 11 tahun 2016 tentang pengampunan pajak, bagaimana ukurannya agar pasal-pasal ini dapat disebut hukum atau Undang-Undang yang mengikat umum dan berlaku diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sedangkan subtansinya tidak dapat diterima secara konstitusional. Bagaimana kita dapat mengetahui bahwa itu tidak dapat diterima secara konstiutsional, tentu harus ditafsirkan (diinterprestasikan) terhadap Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Hukum tertinggi ( grundnorm) dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sebab, jika Undang-Undang bertantangan dengan UUD 1945, Undang-Undang itu tidak baik sebagian materinya atau seluruhnya dapat dinyatakan tidak mengikat umum[22].
          Pada kesempatan ini, penulis tidak bermaksud untuk melampaui kewenangan Mahkamah Konstitusi atau melakukan provokasi hukum, tetapi penulis hanya mencoba mengkontastir beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016 tentang tax amnesty dengan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik berdasarkan UUD 1945/prinsip konstitusionalisme dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-Undangan. Sebab Undang-Undang sebagaimana kaedah pada umumnya adalah untuk melindungi kepentingan manusia. Oleh karena itu, harus dilaksanakan atau ditegakan. Namun bagaimana jadinya jika dalam negara hukum demokrasi dengan sistem pemerintahan konstitusionalisme seperti Indonesia justru sebaliknya.     Sudikno Mertokusumo juga mengatakan kejelasan Undang-Undang ini sangat penting, oleh karena itu , setiap Undang-Undang selalu dilengkapi dengan penjelasan yang dimuat dalam Tambahan Lembaga Negara. Sekalipun namanya serta maksudnya sebagai penjelasan seringkali terjadi bahwa penjelasan itu tidak memberi kejelasan, karena hanya diterangkan “cukup jelas”, padahal teks Undang-Undangnya tidak jelas dan masih memerlukan penjelasan[23].
          Bolehlah dikatakan bahwa setiap ketentuan Undang-Undang perlu dijelaskan, perlu ditafsirkan lebih dulu untuk dapat diterapkan. Menjelaskan ketentuan Undang-Undang akhirnya merealisir fungsi agar hukum positif itu berlaku[24] . Dalam literatur terdapat beberapa metode penafsiran. menurut jimly asshiddique banyak sarjana hukum yang membagi metode penafsiran ke dalam lima macam metode penafsiran, dan tiga macam metode konstruksi[25].  Berkaitan dengan itu, pasal-pasal tersebut dapat dipakai metode penafsiran (interpretasi) sistematis,  metode argumentasi a contrario dan teori penafsiran filosofis.
          Menurut Visser’t Hoft sebagaimana yang di kutip oleh jimly asshiddiqe dalam bukunya pengantar ilmu hukum tata negara mengatakan makna formulasi sebuah kaidah hukum atau makna dari sebuah istilah yang ada didalamnya ditetapkan lebih jauh dengan mengacu pada hukum sebagai sistem, langkah yang dilakukan yaitu mencari makna kata-kata yang terdapat dalam suatu peraturan yang ada kaitannya dan melihat pula pada kaidah-kaidah lainnya. Menurut Visser’t ketentuan-ketentuan yang ada didalamnya saling berhubungan dan sekaligus keterhubungan tersebut dapat menentukan suatu makna[26]. Pendapat yang sama juga di kemukan oleh Sudikno Mertokosumo, sudikno mengatakan terjadinya suatu Undang-Undang selalu berkaitan dan berhubungan dengan Undang-Undang lain, dan tidak ada Undang-Undang yang berdiri sendiri, lepas sama sekali dari keseluruhan perundang-undangan[27].
          Dari teori penafsiran sistematis diatas, meskipun dikatakan teori penafsiran ini dipakai hanya untuk menafsirkan suatu ketentuan Undang-Undang yang tidak mengatur peristiwanya, namun dalam pembentukan suatu Undang-Undang harus dipandang bahwa Undang-Undang tersebut merupakan suatu sistem artinya suatu kesatuan yang utuh dan tidak bisa berdiri sendiri. Hal mana, juga dapat kita temukan dalam pasal 2, pasal 3, dan pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan[28] yang merupakan sebuah sistem dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan. Jika pasal 3 ayat (3), pasal 21 ayat (2) dan ayat (3), dan pasal 22 Undang –Undang Nomor 11 tahun 2016 ditafsirkan secara sistematis dengan memperhatikan makna frasa “atas tindak pidana perpajakan”(pasal 3 ayat (3)), “dilarang membocorkan, menyebarluaskan dan/atau memberitahukan data dan informasi yang diketahui atau diberitahukan wajib pajak kepada pihak lain” (pasal 21 ayat (2)),tidak dapat diminta oleh siapapun atau diberikan kepada pihak manapun berdasarkan peraturan perundang-undangan lain” ( pasal 21 ayat (3)),  “Menteri, wakil Menteri, pegawai Kementrian Keuangan dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pengampunan pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan” (Pasal 22). hendaknya pada pasal 3 ayat (3) perumusannya harus memperhatikan ketentuan pengertian “tindak pidana” selain tindak pidana perpajakan dengan merujuk pada ketentuan Undang-Undang pidana lainnya. Sebab tindak pidana lainnya pun bisa saling berkaitan dengan tindak pidana perpajakan dalam sistem hukum pidana dan asas-asas hukum pidana positif.
          Dengan pengecualian subjek norma (wajib pajak) dalam tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (3), maka timbul pertanyaan bagaimana jika seseorang yang berstatus tersangka pada tindak pidana korupsi lalu ia (tersangka) mengajukan diri untuk ikut program pengampunan pajak  sedangkan pada bagian lain, Undang-undang ini melarang Kementerian Keuangan untuk membocorkan dan/atau memberitahu data wajib pajak kepada pihak lain meskipun atas perintah Undang-Undang ? demikian halnya, di pahami secara a contrario maka itu di legalkan secara hukum. Tetapi secara konstitusional hal demikian menabrak asas negara hukum (pasal 1 ayat (3) UUD 1945) dan asas aqulity before the law (pasal 27 ayat (1).
          Frasa “tidak dapat” dalam pasal 22 memberikan hak kekebalan hukum (imunitas) kepada Menteri, wakil Menteri, pegawai Kementrian Keuangan dan pihak lain yang berkaitan. Bilamana ditafsirkan secara filosofis, maka yang dijadikan patokan untuk itu adalah UUD 1945. Jimly asshiddique mengatakan panafsiran dengan aspek filosofis berarti ide Negara hukum dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945[29]. Sangatlah jelas, oleh sebab UUD 1945 tidak memberikan hak kekebalan hukum tersebut kepada Kementrian Negara sebaimana termaktub dalam pasal 17 UUD 1945.
          Seyogyanya pembentuk Undang-Undang harus memperhatikan hukum positif (hukum yang sedang berlaku) ketika membentuk suatu Undang-Undang, mengimplementasikan prinsip-prinsip konstitusi, serta cita negara hukum dan pancasila. Negara kita berbeda dengan dengan negara-negara Comon Law yang dimungkinkan hukumnya bisa diandaikan/diasumsikan, sedangkan Negara hukum Indonesia mengutamakan kepastian hukum untuk menciptakan keadilan. Sehubungan dengan bagaimana efektifnya peraturan dibidang perpajakan agar wajib pajak juga patuh terhadap hukum maka pemerintah juga harus benar-benar menjamin kedudukan wajib pajak didalam hukum dan tidak menciptakan hukum yang ambigu.

















B.      LANGKAH YANG SENYATANYA DIAMBIL PEMERINTAH DALAM MENANGGAPI MASALAH KEUANGAN NEGARA
          Indonesia memiliki berbagai permasalahan perpajakan antara lain penyelundupan pajak, rendahnya penerimaan pajak, dan rendahnya kepatuhan pajak. Dengan demikian pemerintah mulai membuat suatu program atau kebijkan dengan melihat kondisi tersebut. Permasalahan tersebut diyakini dapat diatasi, dengan pengampunan pajak (tax amnesty). Tax amnesty merupakan usaha pemerintah untuk menambah sumber penerimaan pajak yang selama ini belum atau kurang dibayar, disamping meningkatkan kepatuhan membayar pajak karena semakin efektifnya pengawasan, semakin akuratnya informasi mengenai daftar kekayaan wajib pajak. Tax amnesty dipercaya membuat patuh para wajib pajak untuk membayar pajaknya. Selain itu, tax amnesty juga dipercaya menjadi sistem alat deteksi untuk mengetahui wajib pajak mana yang tidak patuh dalam membayar pajak.
          Tax amnesty dimaksudkan untuk menghapuskan sanksi pidana. Tax amnesty juga dapat diberikan kepada pelaporan sukarela data kekayaan wajib pajak yang tidak dilaporkan di masa sebelumnya tanpa harus membayar pajak yang mungkin belum dibayar sebelumnya. Dalam menetapkan perlu tidaknya tax amnesty, perlu dipertimbangkan apa yang menjadi justifikasi dari tax amnesty dan hingga batas mana tax amnesty dapat dijustifikasi dan harus diperhatikan terhadap apa atau harta yang bagaimana yang di beri ampunan.
          Meningkatkan kepatuhan perpajakan Wajib Pajak merupakan tujuan pertama reformasi administrasi perpajakan jangka menengah. Ada tiga strategi yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan ini, yaitu, pertama, dengan membuat program dan kegiatan yang diharapkan dapat menyadarkan dan meningkatkan kepatuhan sukarela khususnya Wajib Pajak yang selama ini belum patuh. Kedua, meningkatkan pelayanan terhadap Wajib Pajak yang relatif sudah patuh sehingga tingkat kepatuhan dapat dipertahankan atau ditingkatkan. Ketiga, untuk meningkatkan kepatuhan perpajakan adalah dengan memerangi ketidakpatuhan dengan berbagai program dan kegiatan yang diharapkan dapat menangkal ketidakpatuhan perpajakan. Tujuan pemerintah dalam memberlakukan kebijakan tax amnesty adalah meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka pendek.
          Permasalahan penerimaan pajak yang stagnan atau cenderung menurun seringkali menjadi alasan pembenar diberikannya tax amnesty. Hal ini berdampak pada keinginan pemerintah untuk memberikan tax amnesty dengan harapan pajak yang dibayar oleh wajib pajak selama program tax amnesty akan meningkatkan penerimaan pajak. Meski demikian, peningkatan penerimaan pajak dari program tax amnesty ini mungkin saja hanya terjadi selama program tax amnesty dilaksanakan mengingat wajib pajak bisa saja kembali kepada perilaku ketidapatuhannya setelah program tax amnesty berakhir. Dalam jangka panjang, pemberian tax amnesty tidak memberikan banyak pengaruh yang permanen terhadap penerimaan pajak jika tidak dilengkapi dengan program peningkatan kepatuhan dan pengawasan kewajiban perpajakan.
          Permasalahan kepatuhan pajak merupakan salah satu penyebab pemberian tax amnesty. Para pendukung tax amnesty umumnya berpendapat bahwa kepatuhan sukarela akan meningkat setelah program tax amnesty dilakukan. Hal ini didasari pada harapan bahwa setelah program tax amnesty dilakukan wajib pajak yang sebelumnya belum menjadi bagian dari sistem administrasi perpajakan akan masuk menjadi bagian dari sistem administrasi perpajakan. Dengan menjadi bagian dari sistem administrasi perpajakan, maka wajib pajak tersebut tidak akan bisa mengelak dan menghindar dari kewajiban perpajakannya.
          Kejujuran dalam pelaporan sukarela atas data harta kekayaan setelah program tax amnesty merupakan salah satu tujuan pemberian tax amnesty. Dalam konteks pelaporan data harta kekayaan tersebut, pemberian tax amnesty juga bertujuan untuk mengembalikan modal yang parkir di luar negeri tanpa perlu membayar pajak atas modal yang di parkir di luar negeri tersebut. Pemberian tax amnesty atas pengembalian modal yang di parkir di luar negeri ke bank di dalam negeri dipandang perlu karenaakan memudahkan otoritas pajak dalam meminta informasi tentang data kekayaan wajib pajak kepada bank di dalam negeri.
          Taxamnesty dapat dijustifikasi ketika tax amnesty digunakan sebagai alat transisi menuju sistem perpajakan yang baru. Dalam konteks ini, tax amnesty menjadi instrumen dalam rangka memfasilitasi reformasi perpajakan dan sebagai kompensasi atas penerimaan pajak yang berpotensi hilang dari transisi ke sistem perpajakan yang baru tersebut.
          Atas kondisi sekarang, pemerintah seolah-olah kaget terhadap kondisi ekonomi indonesia yang defisit, hingga menjadikan tax amnesty sebagai alat untuk menarik pemasukan negara dari sektor pajak dan program tersebut dimasukan kedalam Undang-Undang untuk dijadikan dasar hukum. Apa boleh dikata semuanya telah terjadi, ini seharusnya dijadikan pelajaran berharga untuk kedepannya. Pemerintah jauh sebelumnya harus sudah bisa memprediksi bahwa kemampuan anggaran Negara untuk kedepannya serta cepat bertindak Senyatanya, fungsikan Undang-Undang perpajakan yang sedang berlaku dengan mereformasi birokratnya. Di samping itu kita juga punya Undang-Undang  Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan Negara  yang Ruang lingkup meliputi:
1.    hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
2.    kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
3.    penerimaan negara;
4.    pengeluaran negara;
5.    penerimaan daerah;
6.    pengeluaran daerah;
7.    kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;
8.    kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; 
9.    kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah; dan
10. kekayaan pihak lain sebagaimana dimaksud meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara/daerah.
          Seberapa pentingnya tax amnesty tetapi harus diingat bahwa Negara mempunyai potensi pendapatan lain selain pajak, pemerintah senyatanya memfungsikan sumber daya lain seperti yang berkaitan dengan ESDM (energi dan sumber daya mineral). Mereformasi sistem pengaturan ESDM dan birokrat yang lebih mantap untuk itu. Sehingga Negara Indonesia tidak hanya semata-mata pendapatannya dari sektor perpajakan. Point penting yang harus dijawab adalah bagaimana pemerintah dapat meningkatkan kepatuhan warga Negara untuk membayar pajak ?















BAB III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN
          Atas analisis yang sudah dijelaskan, penulis menyimpulkan beberapa hal yang ada di dalam rumusan masalah, yaitu:
a.       Tax amnesty dimaksudkan untuk menghapuskan sanksi pidana. Meningkatkan kepatuhan perpajakan Wajib Pajak merupakan tujuan pertama reformasi administrasi perpajakan jangka menengah. Permasalahan penerimaan pajak yang stagnan atau cenderung menurun seringkali menjadi alasan pembenar diberikannya tax amnesty. Hal ini berdampak pada keinginan pemerintah yang berkuasa untuk memberikan tax amnesty dengan harapan pajak yang dibayar oleh wajib pajak selama program tax amnesty akan meningkatkan penerimaan pajak. Tujuan pemerintah dalam melakukan tax amnesty  adalah untuk meningkatkan kepatuhan pajak di masa yang akan datang, mendorong repatriasi modal atau aset yang terparkir di luar negeri, transisi ke sistem perpajakan yang baru.
b.       Peningkatan pengawasan kewajiban perpajakan setelah program tax amnesty merupakan kunci dari suksesnya program tax amnesty. Pengawasan kewajiban perpajakan setelah program tax amnesty dapat meningkatkan penerimaan negara melalui pemeriksaan atas wajib pajak yang masih menggelapkan pajak setelah program tax amnesty berakhir. Untuk itu, otoritas pajak sebaiknya menyampaikan pesan kepada para tax evaders bahwa mereka tidak akan menerima ketidakpatuhan tax evaders tersebut di masa yang akan datang. Selain itu, hal ini juga dapat mengubah pendapat wajib pajak bahwa otoritas pajak tidak sepenuhnya melakukan penegakan hukum pajak. Tax evaders mungkin juga akan mengubah perilakunya di masa yang akan datang karena besar kemungkinan perilaku mereka akan terdeteksi di kemudian hari.
c.       Pemberian pengampunan pajak bagi Wajib Pajak Badan yang melakukan tindakan ilegal juga dikhawatirkan akan menimbulkan masalah dengan rasa keadilan antar Wajib Pajak. Terutama harta wajib pajak yang perlu dipertanyakan dan Undang-Undang tax amnesty yang bersifat ekstra protection terhadap wajib pajak yang mengikuti program tax amnesty. Sebagaimana diketahui bersama, bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya selalu mengharapkan aji mumpung. Terhadap pengampunan pajak ini, pasti pengemplang pajak akan memanfaatkan aji mumpung ini guna menghindari kewajiban pajaknya selama ini sebelum diberikan pengampunan pajak. Hal ini kerap menjatuhkan rasa keadilan bagi Wajib Pajak Badan yang patuh terhadap regulasi pemerintah karena di dalam pemilihan Wajib Pajak Badan yang dipilih untuk mengikuti program ini tidak jelas darimana kriterianya dan dikhawatirkan akan menimbulkan praktik KKN.
d.       Pemerintah harus memperhatikan rasa keadilan yang akan dialami oleh Wajib Pajak Badan lainnya karena secara langsung maupun tidak langsung, masyarakat lah yang membantu pemerintah menyetorkan ke anggaran pendapatan belanja negara. Rasa keadilan tersebut juga berkaitan dengan moral hazard yang kerap dialami masyarakat Indonesia yang diberi fasilitas sedemikian rupa sehingga lupa dengan kewajibannya untuk memberi timbal balik ke negara. Tax ratio juga harus diperhatikan karena hal tersebut adalah hal esensial. Secara sederhana perolehan penerimaan pajak akan besar bila diterapkan tarif yang tinggi. Demikian pula apabila diterapkan tarif rendah, maka akan diperoleh penerimaan pajak yang kecil, tetapi demikian disimpulkan bahwa dalam penerapannya banyak bergantung pada basis pajak (tax base) yang dihadapi.
          Memang dalam sebuah negara setidak-tidaknya ada 4 unsur yang sangat berpengaruh dalam  kestabilan sebuah  negara yakni:  politik dan sosial budaya, ekonomi, agama, Hukum dan Pertahanan. Namun yang ingin penulis tegaskan adalah bahwa negara indonesia adalah negara hukum bukan negara ekonomi.




B.      SARAN
          Ada beberapa saran yang dapat disampaikan terkait pelaksanaan Undang-Undang tax amnesty di Indonesia, antara lain sebagai berikut :
1.    Penerapan tax amnesty harus dilandasi payung hukum yang tidak berpotensi bertantangan dengan sistem hukum maupun konstitusi, supaya tidak ada warga negara yang mengajukan uji materiil ke lembaga berwenang, sehingga wajib pajakpun tidak gelisah ketika mengikuti program ini. Memberikan batasan khusus mengenai kedudukan hukum wajib pajak dan harta wajib pajak, mencabut pasal yang memberikan hak kekebalan terhadap menteri terkait dengan memperhatikan prinsip konstitusi.
2.    Pemberian kebijakan pengampunan pajak semestinya tidak hanya menghapus hak tagih atas wajib pajak (WP) tetapi yang lebih penting lagi adalah memperbaiki kepatuhan WP, sehingga pada jangka panjang dapat meningkatkan penerimaan pajak.
3.    Implementasi tax amnesty dapat diterapkan bila syarat-syarat keterbukaan dan akses informasi terhadap masyarakat terpenuhi oleh karena itu harus menggunakan tax amnesty bersyarat.









DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku :
Asshiddique, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara.Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014.                                 
Farida, Maria. Ilmu Perundang-Undangan. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Penganta. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2010.
Oka, I Ketut, Metodologi Penelitian , Modul Pada Mata Kuliah Metode Penelitian                              Semester IV Univ. Tama Jagakarsa, 2014.
Soekanto, Soerjono. Penganatar penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: UI-Press, 2008
Sinamo, Nomensen. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: BIS, 2011.
Sinamo, Nomensen. Hukum Administrasi Negara. Cet. 2. Jakarta: Jala Permata Aksara, 2012. 

Perundang-Undangan:
          , Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
          , Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 12 Tahun 2011, LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234.
          , Undang-Undang Tentang Pengampunan Pajak, UU No. 11 Tahun 2016, LN No. 131 Tahun 2016, TLN No. 5899.
          , Undang-Undang Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, UU No 28 Tahun 2007.  LN No. 85 Tahun 2007, TLN No.
          , Undang-Undang Tentang Keuangan Negara, UU No. 17 Tahun 2003, LN No. 47 Tahun 2003. TLN No.4286.

Internet :
            http://www.pengampunanpajak.com
            info@pengampunanpajak.com
            http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=13270#.WC_cb8tEnMw
            https://hamdanzoelva.wordpress.com/2009/05/30/negara-hukum-dalam-perspektif-pancasila/
            http://www.kemenkeu.go.id/apbn2016
                https://diplomasiekonomi.kemlu.go.id/images/taxamnesty/Paparan%20Tax%20Amnesty.pdf















LAMPIRAN REFERENSI












[1] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, ( Jakarta: RajaGrafindo Persada,  2014), hal. 119 
[2] Ibid, hal. 11
[3] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum suatu Pengantar ( Jogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2010), hal. 25
[4] Ibid, hal. 26
[5]Diakses dari http://www.kemenkeu.go.id/apbn2016











[6] I Ketut Oka Setiawan, “Metodologi Penelitian” , (Modul diSampaikan Pada Mata Kuliah Metode Penelitian Semester I V Univ. Tama Jagakarsa, 2014 ) hal. 4
[7] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,  Cek . 3 (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2008), hal. 250
[8] Diakses dari https://diplomasiekonomi.kemlu.go.id/images/taxamnesty/Paparan%20Tax%20Amnesty.pdf
[9] Indonesia, Undang-Undang Pengampunan pajak, UU No. 11 tahun 2016, T.L.N. No . 5899, Bagian Menimbang.
[10] Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan,(Jogyakarta: Kanisius, 2007), hal. 235
[11] Ibid, hal. 237
[12] Lihat pasal Pasal 5 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 yang menyebutkan  ‘’Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: a.) kejelasan tujuan;  b.) kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c.) kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d.) dapat dilaksanakan; e.) kedayagunaan dan kehasilgunaan; f.) kejelasan rumusan; dan g.) keterbukaan”.

[13] Indonesia, Undang-Undang Pengampunan pajak, UU No. 11 tahun 2016, T.L.N. No . 5899, Bagian Mengingat.
[14] Indrayati, loc. cit
[15] Ibid, hal. 236
                [16]  Diakses dari http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=13270#.WC_cb8tEnMw
                [17] Nomensen Sinamo, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: BIS, 2011), hal. 13
                [18] Lihat pasal 20 ayat 5 UUD 1945 “dalam rancangan yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan Undang-Undang di setujui, rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan”. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan perundang-Undangan pasal 1 point 3 menyebutkanUndang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden”.
                [19] Asshiddique, op cit, hal. 270
                [20] Ibid.
                [21] Diakses dari  https://hamdanzoelva.wordpress.com/2009/05/30/negara-hukum-dalam-perspektif-pancasila/
                [22] Asshiddique, loc. Cit.
                [23] Mertokusumo, op cit, hal. 217
                [24] Ibid, hal. 219
                [25] Asshiddique, op. Cit, hal. 219
                [26] Ibid, hal. 227
                [27] Mertokusumo, op. Cit, hal. 222                         
                [28] Lihat Pasal 2 Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara. Pasal 3 (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 7 (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
[29] Asshiddique, op. Cit, hal. 222