Tampilkan postingan dengan label pengertian ultra petita dan alasan Ultra Petita oleh oleh mahkamah konstitusi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pengertian ultra petita dan alasan Ultra Petita oleh oleh mahkamah konstitusi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 07 Maret 2017

pengertian ultra petita dan alasan Ultra Petita oleh oleh mahkamah konstitusi

Ultra Petita adalah penjatuhan putusan oleh hakim atas perkara yang tidak dituntut atau memutus melebihi apa yang diminta. Ketentuan ultra petita diatur dalam pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene INdonesisch Reglement (HIR) serta padanannya dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seseorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut (petitum). Ketentuan HIR merupakan hukum acara yang berlaku di pengadilan perdata di Indonesia.Ultra petita dilarang, sehingga judec factie yang melanggar dengan alasan "salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku" dapat mengupayakan kasasi (pasal 30 UU MA), dan dasar upaya peninjauan kembali (pasal 67 dan pasal 74 ayat (1) UU MA). Di dalam hukum perdata berlaku asas hakim bersifat "pasif" hakim "tidak berbuat apa-apa", dalam artian ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan para pihak yang berperkara. Hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya (iudex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur). Hakim hanya menentukan, adakah hal-hal yang diajukan dan dibuktikan para pihak itu dapat membenarkan tuntutan hukum mereka. Ia tidak boleh menambah sendiri hal-hal yang lain, dan tidak boleh memberikan lebih dari yang diminta.
 Berbeda dengan MK, Larangan MK memutus ultra petita (melebihi permohonan), menurut Mahkamah bahwa karakter hukum acara di MK terutama dalam perkara pengujian Undang-Undang adalah untuk mempertahankan hak dan kepentingan konstitusional yang dilindungi oleh konstitusi, sebagai akibat berlakunya suatu Undang-Undang yang berlaku umum (erga omnes). Oleh karena itu apabila kepentingan umum menghendaki, Hakim Konstitusi tidak boleh terpaku hanya pada permohonan atau  petitum yang diajukan. “Kalaupun yang dikabulkan dari permohonan Pemohon misalnya hanya menyangkut satu pasal saja, akan tetapi apabila dengan dinyatakannya pasal tertentu tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan pasal tersebut adalah pasal inti dari Undang-Undang maka pasal lain dalam Undang-Undang yang dimohonkan diuji menjadi tidak mungkin untuk diperlakukan lagi,” terang Mahkamah. Selain itu, MK berpendapat putusan ultra petita lazim dilakukan MK negara lain dan sesuai juga dengan prinsip ex aequo et bono. Larangan ultra petita hanya diatur dalam hukum acara perdata yang dipahami untuk melindungi kepentingan para pihak dan dalam perkembangannya sendiri diperkenankan. “Peristiwa pertama lahirnya lembaga constitutional review adalah di Mahkamah Agung Federal Amerika Serikat tahun 1803 dalam perkara Marbury vs Madison, yang dalam putusannya Mahkamah Agung Federal Amerika Serikat justru jauh melebihi dari yang dimohon (ultra petita),” jelas  Mahkamah menunjukkan sejarah judicial review lahir dari putusan ultra petita. Sedangkan terkait pengujian UU Narkotika, MK berpendapat dalil Pemohon tidak terbukti dan tidak beralasan menurut hukum.