Undang-undang dan TAP MPR dalam sistem hukum Indonesia
sebagai
salah satu jenis peraturan perundang-undangan, undang-undang merupakan bentuk
hukum yang paling tinggi statusnya dibawah UUD 1945, jika dibandingkan dengan
sistem hukum di negeri Belanda, undang-undang dapat disepadankan dengan wet yang mempunyai kedudukan tertinggi
di bawah grongwet atau seperti di
Amerika Serikat dengan act (legislative act) yang berada langsung
dibawah constitution.[1])
Memang Ketetapan MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan
merupakan jenis peraturan hukum tertinggi setelah UUD 1945, pada pengertian ini
TAP MPR lebih tinggi dari pada undang-undang, namun seperti diketahui bahwa
setelah perubahan keempat UUD 1945 status hukum TAP MPR/MPRS yang bersifat
mengatur (regeling) dianggap tidak
lagi mempunyai dasar konstitusional.[2])
Oleh karena itu, tidak ada lagi Ketetapan MPR yang bersifat pengaturan (regeling) yang boleh dibuat oleh MPR
dimasa mendatang.[3])
Terhadap
berbagai Ketetapan MPR/MPRS yang sudah ada dan diwarisi dari masa lalu, telah
diadakan peninjauan menyeluruh mengenai materi dan status hukumnya berdasarkan
TAP MPR No. 1/MPR/Tahun 2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status
Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR-RI Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002.[4]) Ada TAP MPR/MPRS yang dinyatakan sudah
dicabut, ada yang dinyatakan masih berlaku sampai terbentuknya pemerintahan
baru hasil pemilu 2004, ada pula ketetapan yang dinyatakan masih berlaku sampai
berlaku sampai materinya diatur dengan undang-undang. Namun demikian hingga
saat ini, masih ada setidaknya delapan TAP MPR/MPRS yang masih berlaku sebagai
peraturan yang mengikat umum. Status hukum kedelapan Ketetapan MPR/MPRS yang
tersisa menurut Jimly Asshiddiqie dapat ditafsirkan setingkat kedudukannya atau
dapat dipersamakan dengan undang-undang. Dipersamakan tidak berarti harus sama,
tetapi secara teknis hukum kedudukannya dapat dianggap sama sebab MPR sendiri
telah menentukan, ada diantara ketetapan-ketetapan itu yang masih berlaku
sampai materinya diatur dengan undang-undang. Hal itu menunjukan bahwa MPR
sendiri telah menundukan status hukum ketetapan-ketetapannya itu setingkat
dengan undang-undang karena ketetapan-ketetapan tersebut dapat diubah dengan
undang-undang meskipun secara materiil ketetapan-ketetapan MPR/MPRS tersisa itu
adalah juga undang-undang atau wet in
materiele zin.[5])
Oleh sebab itu pencantuman TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan
hanya semata-semata untuk memberikan dasar yuridis delapan Ketetapan MPR yang
masih ada sehingga berlaku umum dan mengikat sebagaimana ketentuan
perundang-undangan lainya.
Pendapat diatas didasarkan pada ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-udang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dijabarkan
melalui penjelasan pasal tersebut yang mengatakan bahwa, “Yang dimaksud dengan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan
Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan
Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003”. Dalam TAP MPR Nomor I/MPR/2003,
telah diputuskan yang mana saja TAP MPR/MPRS dari total 139 ketetapan sejak
tahun 1966 hingga 2002, yang masih berlaku dan tidak berlaku lagi.
Pasca
amandemen UUD 1945 tahun 2002, setelah Garis-Garis Besar Haluan Negara yang
merupakan produk MPR RI dihapus, maka undang-undang tampil sebagai roh GBHN.
Sesungguhnya materi undang-undang itu adalah sama dengan GBHN tetapi hanya saja
tata cara pembentukannya berbeda. Undang-undang merupakan produk legislative power. Dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden dengan melibatkan Dewan
Perwakilan Daerah dalam hal-hal tertentu. Pembentukan undang-undang didasarkan
pada pemikiran bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) dan sebagai negara hukum segala aspek kehidupan dalam
segala bidang kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasar atas hukum yang
sesuai dengan sistem hukum nasional.
Sistem hukum
nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang
saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan
mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan UUD tahun 1945.[6])
Oleh karena itu dapat dikatakan hukum (undang-undang) merupakan salah
satu strategi negara untuk mengatur warga negara agar berbuat sesuai dengan
kehendak negara juga termasuk kehendak warga negara dalam mengatur negara,
bagaimana negara harus berbuat. Yang sengaja dibentuk secara terencana,
terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional.
[1] Jimly
Asshiddiqie, op.cit., hal. 165
[2] Ibid.,
hal. 170
[3] Ibid.
[4] Majelis
Permusyawaratan Republik Indonesia, Himpunan
Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR-RI Berdasarkan Ketetapan MPR-RI Nomor
1/MPR/Tahun 2003 Tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan
MPRS dan Ketetapan MPR-RI Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002, Sekretariat
Jendral MPR RI, Jakarta, 2012
[5] Ibid.,
hal. 72
[6] Nomensen
Sinamo, Ilmu Perundang-Undangan, Cet.
Pertama, Jala Permata Aksara, Jakarta, 2016, (Nomensen Sinamo II), hal. 3