Tampilkan postingan dengan label undang-undang dan proses pemebntukannya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label undang-undang dan proses pemebntukannya. Tampilkan semua postingan

Rabu, 24 Mei 2017

kedudukan undang-undang dan TAP MPR berdasarkan Undang-undang nomor 12 tahun 2011

Undang-undang dan TAP MPR dalam sistem hukum Indonesia

sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan, undang-undang merupakan bentuk hukum yang paling tinggi statusnya dibawah UUD 1945, jika dibandingkan dengan sistem hukum di negeri Belanda, undang-undang dapat disepadankan dengan wet yang mempunyai kedudukan tertinggi di bawah grongwet atau seperti di Amerika Serikat dengan act (legislative act) yang berada langsung dibawah constitution.[1]) Memang Ketetapan MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan merupakan jenis peraturan hukum tertinggi setelah UUD 1945, pada pengertian ini TAP MPR lebih tinggi dari pada undang-undang, namun seperti diketahui bahwa setelah perubahan keempat UUD 1945 status hukum TAP MPR/MPRS yang bersifat mengatur (regeling) dianggap tidak lagi mempunyai dasar konstitusional.[2]) Oleh karena itu, tidak ada lagi Ketetapan MPR yang bersifat pengaturan (regeling) yang boleh dibuat oleh MPR dimasa mendatang.[3])
                Terhadap berbagai Ketetapan MPR/MPRS yang sudah ada dan diwarisi dari masa lalu, telah diadakan peninjauan menyeluruh mengenai materi dan status hukumnya berdasarkan TAP MPR No. 1/MPR/Tahun 2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR-RI Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002.[4]Ada TAP MPR/MPRS yang dinyatakan sudah dicabut, ada yang dinyatakan masih berlaku sampai terbentuknya pemerintahan baru hasil pemilu 2004, ada pula ketetapan yang dinyatakan masih berlaku sampai berlaku sampai materinya diatur dengan undang-undang. Namun demikian hingga saat ini, masih ada setidaknya delapan TAP MPR/MPRS yang masih berlaku sebagai peraturan yang mengikat umum. Status hukum kedelapan Ketetapan MPR/MPRS yang tersisa menurut Jimly Asshiddiqie dapat ditafsirkan setingkat kedudukannya atau dapat dipersamakan dengan undang-undang. Dipersamakan tidak berarti harus sama, tetapi secara teknis hukum kedudukannya dapat dianggap sama sebab MPR sendiri telah menentukan, ada diantara ketetapan-ketetapan itu yang masih berlaku sampai materinya diatur dengan undang-undang. Hal itu menunjukan bahwa MPR sendiri telah menundukan status hukum ketetapan-ketetapannya itu setingkat dengan undang-undang karena ketetapan-ketetapan tersebut dapat diubah dengan undang-undang meskipun secara materiil ketetapan-ketetapan MPR/MPRS tersisa itu adalah juga undang-undang atau wet in materiele zin.[5]) Oleh sebab itu pencantuman TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan hanya semata-semata untuk memberikan dasar yuridis delapan Ketetapan MPR yang masih ada sehingga berlaku umum dan mengikat sebagaimana ketentuan perundang-undangan lainya.
            Pendapat diatas didasarkan pada ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dijabarkan melalui penjelasan pasal tersebut yang mengatakan bahwa, “Yang dimaksud dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003”. Dalam TAP MPR Nomor I/MPR/2003, telah diputuskan yang mana saja TAP MPR/MPRS dari total 139 ketetapan sejak tahun 1966 hingga 2002, yang masih berlaku dan tidak berlaku lagi.
            Pasca amandemen UUD 1945 tahun 2002, setelah Garis-Garis Besar Haluan Negara yang merupakan produk MPR RI dihapus, maka undang-undang tampil sebagai roh GBHN. Sesungguhnya materi undang-undang itu adalah sama dengan GBHN tetapi hanya saja tata cara pembentukannya berbeda. Undang-undang merupakan produk legislative power. Dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden dengan melibatkan Dewan Perwakilan Daerah dalam hal-hal tertentu. Pembentukan undang-undang didasarkan pada pemikiran bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) dan sebagai negara hukum segala aspek kehidupan dalam segala bidang kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasar atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional.
            Sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan UUD tahun 1945.[6]) Oleh karena itu dapat dikatakan hukum (undang-undang) merupakan salah satu strategi negara untuk mengatur warga negara agar berbuat sesuai dengan kehendak negara juga termasuk kehendak warga negara dalam mengatur negara, bagaimana negara harus berbuat. Yang sengaja dibentuk secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional.



[1]               Jimly Asshiddiqie, op.cit., hal. 165
[2]               Ibid., hal. 170
[3]               Ibid.
[4]               Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia, Himpunan Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR-RI Berdasarkan Ketetapan MPR-RI Nomor 1/MPR/Tahun 2003 Tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR-RI Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002, Sekretariat Jendral MPR RI, Jakarta, 2012
[5]               Ibid., hal. 72
[6]               Nomensen Sinamo, Ilmu Perundang-Undangan, Cet. Pertama, Jala Permata Aksara, Jakarta,  2016,  (Nomensen Sinamo II),  hal. 3 

Sabtu, 20 Mei 2017

Pengertian Undang-Undang

         
            Undang-undang (Statue) adalah suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, diadakan dan dipelihara oleh penguasa negara. [1])  menurut Buys, undang-undang itu mempunyai dua arti, yaitu: [2])
1)      Undang-undang dalam arti formil adalah setiap keputusan pemerintah yang merupakan undang-undang karena cara pembuatannya, misalnya dibuat oleh pemerintah bersama parlemen.
2)      Undang-undang dalam arti materiil adalah setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya mengikat lamgsung setiap penduduk.
Senada dengan itu, Sudikno Mertokusumo juga membedakan pengertian undang-undang dalam arti materiil dan undang-undang dalam arti formil. Dinamakan dalam arti materiil, merupakan keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat dari isinya disebut undang-undang dan mengikat setiap orang secara umum. Undang-undang dalam arti formil ialah keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya disebut undang-undang. [3]) Dalam pandangan filsafat hukum, undang-undang disebut sebagai hukum tertulis (gescreven recht). Sebab resminya dalam bentuk tertulis dan bukan hukum karena ditulis dapat dibaca. [4])
            Berbeda dengan pendapat-pendapat sebelumnya, Maria Farida mengatakan: [5])
“ Di Indonesia istilah formell gesetz atau formele wetten ( undang-undang dalam arti formil ) ini seyognya diterjemahkan dengan ‘ Undang-Undang’ saja tanpa menambahkan kata ‘formal’ dibelakangnya, oleh karena apabilah formell gesetz  diterjemahkan dengan ‘Undang-Undang formal’, hal itu tidak sesuai dengan penyebutan jenis-jenis peraturan perundang-undangan di indonesia. Wet in formele zin’ dan ‘wet in materiale zin’ secara harafiah sebagai Undang-Undang  dalam arti formal dan Undang-Undang daalam arti material tanpa melihat pengertian yang terkandung didalamnya, dan sistem perundang-undangan yang berlaku di indonesia ”.
            menurut Farida, pemakaian kedua istillah tersebut bagi negara Indonesia adalah tidak tepat, oleh karena menurut UUD tahun 1945 dalam sistem perundang-undangan di Indonesia hanya dikenal istilah undang-undang saja, yang dapat dipersamakan dengan wet yaitu formalle wet sebagai suatu keputusan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan perseutujuan bersama Presiden, serta disahkan oleh Presiden. Undang-undang tersebut dapat juga sekaligus merupakan suatu wet in materiele zin apabila undang-undang itu berisi suatu peraturan yang mengikat umum. [6])
            Pada bagian lain, Hamdan Zoelva dan Mahfud MD mengatakan bahwa undang-undang merupakan produk politik senantiasa memiliki watak yang sangat ditentukan oleh konstelasi politik yang melahirkannya. [7])  sebab dibentuk oleh lembaga-lembaga politik.
            Terlepas dari keberagaman pendapat tentang pengertian undang-undang, sebenarnya setiap keputusan tertulis yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang dibidang pengaturan (regelendaad) yang berisi norma hukum (legal norm)   yang mengatur tingkah laku dan mengikat umum dapat disebut sebagai peraturan perundang-undangan. Undang-undang hanyalah merupakan salah satu bentuknya.[8]) Jika kita dasarkan pada undang-undang dasar tahun 1945 maka pengertian undang-undang dapat kita temukan tersirat dalam pasal 5 dan pasal 20, kemudian pada pasal 22A mengamanatkan tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang, sehingga pengertian undang-undang diatur dalam undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan sebagiamana diamanatkan oleh pasal 22A. Pada pasal 1 angka 3 undang-undang nomor 12 tahun 2011, menyebutkan undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama presiden. Oleh sebab itu secara kaku dapat dikatakan bahwa undang-undang  merupakan kristalisasi antara DPR dan Presiden dengan melibatkan DPD dalam hal-hal tertentu.




[1]               Nomensen Sinamo,  Pengantar Hukum Indonesia (PHI), Bumi Intitama Sejahtera, Jakarta,  2011,  (Nomensen Sinamo II),  hal. 15
[2]               Ibid.,
[3]               Sudikno Mertokusumo,  Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Edisi Revisi, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta,  2010, hal. 113

[4]               Purnawidhi W. Purbacaraka,  Filsafat hukum (Aspek Etis), Cet 1, Djokosoetono Research Center, Depok, 2011, hal. 54
[5]               Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi dan Muatan Materi), Dikembangkan Dari Perkuliahan Hamid S. Attamimi, Kanisius, Yogyakarta,  2007, hal. 52
[6]               Ibid., hal. 53
[7]               Hamdan  Zoelva, op.cit., hal. 157
[8]               Jimly Asshiddiqie, op.cit., hal. 168