BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Negara indonesia adalah negara hukum, Unsur-unsur
negara hukum Indonesia sebagai sebuah konsep nilai yang dipetik dari seluruh
proses lahirnya negara Indonesia, dasar falsafah serta cita hukum negara
Indonesia. Sesuai dengan pasal 1 ayat 3 UUD Tahun 1945, maka konsekuensinya
segala warga negara harus menjujung tinggi hukum dengan tanpa terkecuali. Dalam tingkat implementatif, bagaimana
kongkritnya negara hukum Indonesia dalam kehidupan bernegara harus dilihat pada
pasal-pasal Undang-Undang Dasar. Kaedah-kaedah yang terkandung dalam
pasal-pasal UUD-lah yang menjadi kaedah penuntun bagi pelaksanaan pemerintahan
negara yang lebih operasional. Konsistensi melaksanakan ketentuan-ketentuan
konstitusi itulah yang dikenal dengan prinsip konstitusionalisme. Karena itu,
jika konsep negara hukum bersifat abstrak maka konsep konstitusionalisme harus menjadi lebih nyata dan jelas. Dengan
adanya hukum diharapkan mampu mengendalikan segala aktivitas negara maupun
organ-organ negara yang menjalankan kekuasaan negara sehingga tujuan hukum pun
terwujud. Tujuan hukum tersebut yakni : keadialan (justice), kepastian hukum
(certainty atau zekerheid) dan kegunaan (utility)[1].
Secara sederhana, paham negara hukum
di indonesia bukan hukum yang melegalkan segala cara untuk kepentingan negara
semata-mata tetapi hukum yang berdasarkan pancasila, dimana untuk mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara sebenarnya merupakan
kontruksi yang diciptakan oleh umat
manusia (human creation) tentang pola hubungan manusia dalam kehidupan
bermasyarakat yag diorganisasikan sedemikian rupa untuk maksud memenuhi
kepentingan dan tujuan bersama[2]. Karena
itu dalam organisasi (negara) terdapat unsur pimpinan yang lazim disebut
penguasa. di tempat terpisah Sudikno Mertokusumo mengatakan penguasa mempunyai
kekuasaan untuk memaksakan sanksi terhadap pelanggaran kaidah hukum[3].
Menurutnya, hukum ada karena kekuasaan yang sah. Kekuasaan yang sahlah yang
menciptakan hukum, kalau dikatakan hukum itu kekuasaan tidak berarti bahwa
kekuasaan itu hukum[4].
Sangat jelas kiranya hubungan konseptual antara tujuan hukum dan tujuan negara
indonesia sebagaimana yang termaktub dalam pancasila menurut para pakar
tersebut diatas.
Selanjutnya, dalam kehidupan
bernegara, negara bertanggung jawab penuh atas keberlangsungan hidup rakyatnya.
Pemerintah atas nama negara mengusahakan agar kehidupan rakyat bisa sejahtera
sesuai dengan tujuan negara Indonesia, oleh karenanya negara membutuhkan dana.
Memerlukan dana yang memadai untuk membiayai jalannya pemerintahan supaya
hal-hal yang besifat pelayanan terhadap masyarakat tidak terkendala oleh karena
alasan kekurangan anggaran.
Di Indonesia, sumber utama dari penerimaan
keuangan negara ialah pajak. Sekarang ini pajak merupakan sumber penerimaan yang dominan dalam
struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hampir 70 persen
penerimaan berasal dari sektor pajak. Bahkan pada tahun sekarang (2016),
pendapatan negara Indonesia di sektor perpajakan mencapai 74,6 persen dari
persentase keseluruhan
pendapatan negara[5].
Lazimnya
negara hukum bahwa segala kebijakan pemerintah harus berdasarkan hukum,
pemerintah pun membentuk aturan untuk dijadikan sebagai dasar atau penuntun
pengambilan kebijakan dibidang perpajakan. Pemerintah selalu berupaya untuk menjadikan sistem
perpajakan di Indonesia menjadi lebih
baik. Perubahan sistem perpajakan dari tahun ke
tahun juga merupakan salah satu upaya untuk menelaah keefektivitasan sistem
tersebut dalam meningkatkan penerimaan pajak setiap tahunnya, maka dari itu
Undang-Undang tentang Perpajakan selalu berubah setiap saat. Salah satu langkah konkret pemerintah dalam bidang pajak pada
tahun sekarang (2016) ialah program tax amnesty (pengampunan pajak) yang
dituangkan dalam undang-undang nomor 11 tahun 2016 tentang tax amnesty.
Kebijakan
ini pun langsung menimbulkan pro dan kontra bagi beberapa pihak karena
mengingat pelaksanaan program tax amnesty pada tahun 1984 dan 2008 tidak
menimbulkan efek yang signifikan bagi peningkatan kepatuhan wajib pajak di
Indonesia. Selain itu banyak pihak yang kontra karena kebijakan ini perlu
kajian yang mendalam untuk dilakukan seperti kekuatan hukum, sistem
administrasi yang harus memadai untuk mendorong wajib pajak lebih mudah
membayar pajak, dan kajian lainnya. Terlepas dari fakta diatas, penulis
berpendapat bahwa terdapat beberapa ketidakjelasan dalam pasal-pasal
Undang-Undang ini jika dikaitan dengan asas Negara Hukum konstitusional dan
perlu dikaji ulang terutama pasal-pasal yang sangat berpotensi bertantangan
dengan UUD 1945, atas dasar pemikiran tersebut diatas, maka penulis tertarik
melakukan penelitian dengan judul “Analisis
Yuridis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945”.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Melihat
kenyataan yang ada, maka penulis mengidentifikasi masalah dalam bentuk
pernyataan sebagai berikut:
1.
Dalam undang-undang nomor 11 tahun 2016 tentang tax amnesty yang
disahkan Presiden pada tanggal 1 juli 2016 terdapat pasal-pasal yang kontra
yuridis konstitusional, yakni: pasal 1 point 1, pasal 3 ayat 3, pasal 21 ayat 2
dan ayat 3, dan pasal 22.
2.
Membentuk hukum dengan isi materi yang seolah-olah melonggarkan subjek
hukum yang melanggar hukum selain tindak pidana perpajakan.
3.
terlalu buru-buru dalam menanggapi permasalahan mengenai anggaran
negara.
C. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan identifikasi masalah yang ditetapkan
diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Apa dasar pemikiran pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 ?
2.
Apa langkah yang senyatanya diambil pemerintah dalam menanggapi masalah
terutama mengenai anggaran Negara?
` `
D. METODE PENELETIAN
metode penelitian yang
digunakan yaitu Metode Penelitian yang bersifat deskriptif. Penelitian dengan
menggunakan metode deskriptif yaitu menerangkan, memaparkan tentang sesuatu
hal, biasanya peneliti sudah mendapatkan atau mempunyai gambaran tentang
masalah yang akan diteliti[6].
Adapun pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-normatif.
Berkaitan dengan itu, Soerjono Soekanto mengatakan seorang peneliti yang
menggunakan metode kualitatif, tidaklah semata-mata bertujuan untuk
mengungkapkan kebenaran belaka, akan tetapi untuk memahami kebenaran tersebut
Apa yang menjadi latar belakang dari itu semua[7].
Ia juga mengatakan bahwa penelitian kualitatif tidak dapat dipisahkan dari
analisis normatif.
BAB II
ANALISIS
A. DASAR PEMIKIRAN PEMBENTUKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016
kebijakan
tax amnesty harus dilihat sebagai kebijakan ekonomi yang bersifat mendasar,
jadi tidak semata-mata kebijakan terkait fiskal apalagi khususnya pajak. Jadi
ini kebijakan yang dimensinya lebih luas, kebijakan ekonomi secara umum. Karena
dari sisi pajaknya sendiri, dengan adanya tax amnesty maka ada potensi
penerimaan yang akan bertambah dalam APBN baik di tahun ini atau tahun-tahun
sesudahnya yang akan membuat APBN lebih sustainable. APBN lebih sustainable dan
kemampuan pemerintah untuk spending atau untuk belanja juga semakin besar
sehingga otomatis ini akan banyak membantu program-program pembangunan tidak
hanya infrastruktur tapi juga perbaikan kesejahteraan masyarakat.
Jadi dari
satu sisi adanya tax amnesty tahun ini dan seterusnya akan sangat membantu
upaya pemerintah memperbaiki kondisi perekonomian, pembangunan dan mengurangi
pengangguran, mengurangi kemiskinan serta memperbaiki ketimpangan. tetapi
disisi lain, di sisi yang di luar fiskal atau pajaknya, dengan kebijakan
amnesty ini yang diharapkan dengan diikuti repatriasi sebagian atau keseluruhan
aset orang Indonesia di luar negeri maka akan sangat membantu stabilitas
ekonomi makro. Apakah itu dilihat dari nilai tukar rupiah, apakah itu dilihat
dari cadangan devisa, apakah itu dilihat dari neraca pembayaran atau bahkan
sampai kepada likuiditas dari perbankan. Jadi kebijakan ini sangat strategis
karena dampak yang sifatnya makro, menyeluruh dan fundamental bagi perekonomian
Indonesia. catatan dirjen pajak, Kementrian Keuangan dalam situs resminya
mengatakan, latar belakang tax amnesty antara lain:
a)
pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan.
b)
kepatuhan Wajib Pajak rendah karena:
- masih
marak aktivitas ekonomi di dalam negeri yang belum dilaporkan kepada otoritas pajak.
- masih
banyak harta WNI yang berada di luar negeri yang belum dilaporkan dalam SPT.
c)
perlu terobosan kebijakan untuk mendorong pengalihan Harta ke Indonesia
dan peran serta masyarakat untuk membayar pajak secara merata tanpa ada pembeda[8].
Sedangkan
menurut konsideran bagian menimbang Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2016 tentang pengampunan pajak menyebutkan:
a)
“bahwa pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia bertujuan untuk
memakmurkan seluruh rakyat Indonesia yang merata dan berkeadilan, memerlukan
pendanaan besar bersumber utama dari pajak”.
b)
“bahwa untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak yang terus meningkat, diperlukan
kesadaran dan kepatuhan masyarakat dengan mengoptimalkan semua potensi dan
sumber daya yang ada”.
c)
“bahwa kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya masih perlu ditingkatkan karena terdapat harta, baik didalam maupun
diluar negeri yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam surat
pemberitahuan pajak penghasilan”.
d)
“bahwa untuk meningkatkan penerimaan negara dan pertumbuhan perekonomian
serta kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan,
perlu menerbitkan kebeijakan pengampunan pajak”[9].
Atas dasar pemikiran seperti tersebut diatas maka
di terbitkanlah oleh pemerintah kebijakan pengampunan pajak dan dituangkan
dalam undang-undang.
Namun ada
hal menarik yang perlu dikaji dalam hal ini yaitu yang berkaitan dengan
subtansi Undang-Undang tersebut seperti yang penulis sebutkan diawal (lihat Bab
1 sub B point 1).
berdasarkan
teori asas Negara Konstitusional (constitutional states), pembentukan
Undang-Undang harus didasarkan pada prinsip konstitusional, terutama berkenaan
dengan sifat peraturan perundang-undangan yang tertulis sebagai sumber hukum
utama dan yang terutama. Undang-Undang tersebut bisa saja diamanatkan langsung
oleh konstitusi/UUD 1945 atau perlu diatur selanjutnya oleh karena kebutuhan
rakyat meskipun tidak diatur dalam konstitusi/UUD 1945 secara abtrak tetapi
rakyat membutuhkannya. Dalam kepustakaan hukum di Indonesia, dikenal beberapa
prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan, namun dapat kita bulatkan
saja dalam dua prinsip dasar yaitu:
konstitusional formil dan konstitusional materiil. Hal mana, yang
memberi legitimasi terhadap sebuah peraturan perundang-undangan. Konstitusional
formil memberikan legitimasi terhadap lembaga mana yang berwenang membentuk
undang-undang berdasarkan kewenangan yang diberikannya, sedangkan
konstitusional materiil berkaitan dengan materi apa yang diatur oleh
undang-undang berkaitan guna dikonkretkan lebih lanjut.
Sejalan
dengan itu, Maria Farida .S mengatakan UUD 1945 menetapkan mengenai siapa
pembentuk undang-undang[10]. Sedangkan
apabila dilihat dari batang tubuh UUD 1945 maka ada delapan belas yang harus
diatur lebih lanjut dalam ketentuan perundang-undangan[11].
Artinya Ia memisahkan antara dasar konstitusional pembentuk undang-undang
dengan muatan materi dari suatu undang-undang meskipun tidak secara tegas Ia
menyebutkannya. Dipertegas lagi oleh Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan peraturan perundang-Undangan pasal 1 point 3 menyebutkan “Undang-Undang
adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dengan persetujuan bersama Presiden”.
pasal
10 ayat (1) :
Materi
muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi:
a)
pengaturan lebih
lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b)
perintah suatu
Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c)
pengesahan perjanjian
internasional tertentu;
d)
tindak lanjut atas
putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e)
pemenuhan kebutuhan
hukum dalam masyarakat.
Pasal
ini memberi petunjuk mengenai materi muatan dari suatu undang-undang. Point (a)
menegaskan pengaturan lanjut dari UUD 1945, point (b) memberi dasar hukum oleh
undang-undang untuk diatur selanjutnya dengan undang-undang, demikian
selanjutnya.
Bertalian
dengan itu, sebenarnya undang-undang nomor 11 tahun 2016 tentang pengampunan
pajak secara hukum telah memenuhi asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik, sebagaimana yang diatur dalam pasal 5
undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan
perudang-undangan[12]. Juga
menggunakan prinsip konstitusional formil, hal mana dapat kita lihat dalam
bagian mengingat undang-undang
tersebut yang menyebutkan:
Mengingat
:pasal 5 ayat (1), pasal 20 dan pasal 23A UUD RI Tahun1945.[13]
Namun
yang menjadi permasalahan adalah bagaimana dalam merumuskan pasal 23A UUD 1945
dalam menjadikannya sebagai dasar konstitusional materiil ? artinya patutkah
disebut bahwa undang-undang pengampunan pajak merupakan perintah dari pasal 23A
UUD 1945 ?
UUD
1945 tidak secara tegas memerintahkan harus atau tidak seharusnya diatur lebih
lanjut dalam ketentuan perundang-undangan lainnya seperti halnya undang-undang
memerintah pengaturan teknis diatur oleh peraturan menteri. Hal yang sama juga
dikatakan oleh Maria Farida .S bahwa UUD 1945 tidak pernah menyebut mengapa
sesuatu masalah harus diatur dengan Undang-Undang sedangkan masalah yang
lainnya tidak perlu[14]. Namun
Ia mengatakan didalamnya ada petunjuk-petunjuk yang dapat dipakai untuk mencari
dan menemukannya, caranya:
a)
Dari ketentuan batang
tubuh UUD 1945;
b)
Berdasarkan wawasan
negara berdasar atas hukum;
c)
Berdasarkan wawasan
pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi[15].
Jika dibandingkan dengan pengertian pajak sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang
Nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum Perpajakan, dapat dirasakan bagaimana
perbedaan makna pengertian pajak antara kedua Undang-Undang perpajakan ini.
sangat jelas, sebab makna pajak dalam
Undang-Undang pengampunan pajak dipengaruhi oleh variabel pengampunan.
Betapapun kata pengampunan digunakan namun perlu dicermati bahwa Pasal 23A UUD
1945 menggunakan frasa “pajak dan pungutan lain bersifat memaksa” pengertian “memaksa” dimaknai dalam kamus
besar Bahasa Indonesia adalah memperlakukan, menyuruh, meminta dengan paksa[16]. Akan
tetapi, pengertian frasa “pengampunan” pada Undang-Undang Pengampunan Pajak
adalah pembebasan dari hukuman atau tuntutan. Kata memaksa, berati dapat
dipaksakan jika dilanggar harus dikenakan sanksi. Seperti yang dikatakan oleh
Nomensen Sinamo hukum yang memaksa (dwingen recht), yaitu aturan hukum yang
tidak dapat di kesampingkan, sebagian besar merupakan hukum publik berbeda
dengan hukum privat hanya sebagai hukum pelengkap (regelen recht) yang dapat
dikesampingkan khususnya dalam buku III KUHperdata tentang perikatan[17].
Terlepas dari ketidakjelasan pasal 1 point 1 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016 tentang
pengampunan pajak, terdapat pula pasal pasal yang bersifat kontraversial, yakni
pasal 3 ayat 3, pasal 21 ayat 2 dan ayat 3, dan pasal 22. Bunyi pasal pasal
tersebut antara lain :
Pasal 3 ayat (3)
“Dikecualikan
dari ketentuan sebagaiman dimaksud dalam ayat (1), yaitu wajib pajak yang
sedang:
a)
Dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap
oleh kejaksaan;
b)
Dalam proses peradilan; atau
c)
Menjalani hukuman pidana, atas tindak pidana perpajakan”.
Pasal
21 ayat (2)
“
Menteri, wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan dan pihak lain yang
berkaitan dengan pelaksanaan pengampunan pajak, dilarang membocorkan,
menyebarluaskan dan/atau memberitahukan data dan informasi yang diketahui atau
diberitahukan wajib pajak kepada pihak lain”.
Ayat
(3)
“Data
dan informasi yang disampaikan wajib pajak dalam rangka pengampunan pajak tidak
dapat diminta oleh siapapun atau diberikan kepada pihak manapun berdasarkan
peraturan perundang-undangan lain, kecuali atas persetujuan Wajib Pakjak
Sendiri”.
Pasal
22
“Menteri,
wakil Menteri, pegawai Kementrian Keuangan dan pihak lain yang berkaitan dengan
pelaksanaan pengampunan pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan
penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut baik secara perdata maupun
pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan”.
Pasal-pasal diatas harus dipandang sebagai hukum
artinya hukum tertulis yang dibuat oleh presiden bersama Dewan Perwakilan
Rakyat atau oleh UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 menyebutkannya
sebagai Undang-Undang[18],
pengertian ini jika dikaitkan dengan paham Negara Hukum demokrasi maka Jimly
Assiddhique berpendapat Undang-Undang merupakan produk demokrasi atau produk
kehendak orang banyak, jika Undang-Undang telah dibahas dan disetujui bersama
Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden kemudian disahkan dan berlaku sebagaimana
mestinya, berarti Undang-Undang yang bersangkutan telah mencerminkan kehendak
politik mayoritas rakyat yang diwakili oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan aspirasi
rakyat yang pemilih presiden yang mendapat dukungan mayoritas suara rakyat
melalui pemilihan umum[19].
Namun disisi lain Ia mengatakan suara mayoritas rakyat yang tercermin dalam
Undang-Undang tidaklah identik dengan suara seluruh rakyat yang tercermin dalam
UUD tahun 1945, suara mayoritas rakyat tidak selalu identik dengan suara keadilan dan kebenaran konstitusi[20].
Ini berarti Undang-Undang merupakan pengaturan lebih lanjut untuk menjalankan
amanat konstitusi/UUD 1945, Undang-Undang mempunyai kekuatan mengikat dan dapat
dipaksakan keberlakuannya namun tidak berati Undang-Undang harus bertantangan
dengan keadilan dan kebenaran UUD 1945. Dalam tingkat implementatif, bagaimana
kongkritnya negara hukum Indonesia dalam kehidupan bernegara harus dilihat pada
pasal-pasal Undang-Undang Dasar. Kaedah-kaedah yang terkandung dalam
pasal-pasal UUD 1945lah yang menjadi kaedah penuntun bagi pelaksanaan
pemerintahan negara yang lebih operasional. Konsistensi melaksanakan
ketentuan-ketentuan konstitusi itulah yang dikenal dengan prinsip
konstitusionalisme[21].
Demikian
halnya dengan pasal 3 ayat 3, pasal 21 ayat 2 dan ayat 3, dan pasal 22 Undang
–Undang Nomor 11 tahun 2016 tentang pengampunan pajak, bagaimana ukurannya agar
pasal-pasal ini dapat disebut hukum atau Undang-Undang yang mengikat umum dan
berlaku diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sedangkan subtansinya
tidak dapat diterima secara konstitusional. Bagaimana kita dapat mengetahui
bahwa itu tidak dapat diterima secara konstiutsional, tentu harus ditafsirkan
(diinterprestasikan) terhadap Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Hukum tertinggi
( grundnorm) dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sebab,
jika Undang-Undang bertantangan dengan UUD 1945, Undang-Undang itu tidak baik
sebagian materinya atau seluruhnya dapat dinyatakan tidak mengikat umum[22].
Pada
kesempatan ini, penulis tidak bermaksud untuk melampaui kewenangan Mahkamah
Konstitusi atau melakukan provokasi hukum, tetapi penulis hanya mencoba
mengkontastir beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016 tentang
tax amnesty dengan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
berdasarkan UUD 1945/prinsip konstitusionalisme dan Undang-Undang Nomor 12
tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-Undangan. Sebab
Undang-Undang sebagaimana kaedah pada umumnya adalah untuk melindungi
kepentingan manusia. Oleh karena itu, harus dilaksanakan atau ditegakan. Namun
bagaimana jadinya jika dalam negara hukum demokrasi dengan sistem pemerintahan
konstitusionalisme seperti Indonesia justru sebaliknya. Sudikno Mertokusumo juga mengatakan kejelasan
Undang-Undang ini sangat penting, oleh karena itu , setiap Undang-Undang selalu
dilengkapi dengan penjelasan yang dimuat dalam Tambahan Lembaga Negara.
Sekalipun namanya serta maksudnya sebagai penjelasan seringkali terjadi bahwa
penjelasan itu tidak memberi kejelasan, karena hanya diterangkan “cukup jelas”,
padahal teks Undang-Undangnya tidak jelas dan masih memerlukan penjelasan[23].
Bolehlah dikatakan bahwa setiap
ketentuan Undang-Undang perlu dijelaskan, perlu ditafsirkan lebih dulu untuk
dapat diterapkan. Menjelaskan ketentuan Undang-Undang akhirnya merealisir
fungsi agar hukum positif itu berlaku[24] . Dalam
literatur terdapat beberapa metode penafsiran. menurut jimly asshiddique banyak
sarjana hukum yang membagi metode penafsiran ke dalam lima macam metode
penafsiran, dan tiga macam metode konstruksi[25]. Berkaitan dengan itu, pasal-pasal tersebut
dapat dipakai metode penafsiran (interpretasi) sistematis, metode argumentasi a contrario dan teori
penafsiran filosofis.
Menurut
Visser’t Hoft sebagaimana yang di kutip oleh jimly asshiddiqe dalam bukunya pengantar ilmu hukum tata negara
mengatakan makna formulasi sebuah kaidah hukum atau makna dari sebuah istilah
yang ada didalamnya ditetapkan lebih jauh dengan mengacu pada hukum sebagai
sistem, langkah yang dilakukan yaitu mencari makna kata-kata yang terdapat
dalam suatu peraturan yang ada kaitannya dan melihat pula pada kaidah-kaidah
lainnya. Menurut Visser’t ketentuan-ketentuan yang ada didalamnya saling
berhubungan dan sekaligus keterhubungan tersebut dapat menentukan suatu makna[26].
Pendapat yang sama juga di kemukan oleh Sudikno Mertokosumo, sudikno mengatakan
terjadinya suatu Undang-Undang selalu berkaitan dan berhubungan dengan
Undang-Undang lain, dan tidak ada Undang-Undang yang berdiri sendiri, lepas
sama sekali dari keseluruhan perundang-undangan[27].
Dari teori penafsiran sistematis
diatas, meskipun dikatakan teori penafsiran ini dipakai hanya untuk menafsirkan
suatu ketentuan Undang-Undang yang tidak mengatur peristiwanya, namun dalam
pembentukan suatu Undang-Undang harus dipandang bahwa Undang-Undang tersebut
merupakan suatu sistem artinya suatu kesatuan yang utuh dan tidak bisa berdiri
sendiri. Hal mana, juga dapat kita temukan dalam pasal 2, pasal 3, dan pasal 7
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan[28] yang
merupakan sebuah sistem dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan.
Jika pasal 3 ayat (3),
pasal 21 ayat (2) dan ayat (3), dan pasal 22 Undang –Undang Nomor 11 tahun 2016
ditafsirkan secara sistematis dengan memperhatikan makna frasa “atas tindak
pidana perpajakan”(pasal 3 ayat (3)), “dilarang
membocorkan, menyebarluaskan dan/atau memberitahukan data dan informasi yang
diketahui atau diberitahukan wajib pajak kepada pihak lain” (pasal 21 ayat (2)), “tidak dapat diminta oleh siapapun atau
diberikan kepada pihak manapun berdasarkan peraturan perundang-undangan lain” (
pasal 21 ayat (3)), “Menteri, wakil Menteri, pegawai Kementrian
Keuangan dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pengampunan pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat,
dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut baik secara perdata
maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan” (Pasal 22). hendaknya pada pasal 3
ayat (3) perumusannya harus memperhatikan ketentuan pengertian “tindak pidana”
selain tindak pidana perpajakan dengan merujuk pada ketentuan Undang-Undang
pidana lainnya. Sebab tindak pidana lainnya pun bisa saling berkaitan dengan
tindak pidana perpajakan dalam sistem hukum pidana dan asas-asas hukum pidana
positif.
Dengan pengecualian subjek norma
(wajib pajak) dalam tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 3
ayat (3), maka timbul pertanyaan bagaimana jika seseorang yang berstatus
tersangka pada tindak pidana korupsi lalu ia (tersangka) mengajukan diri untuk
ikut program pengampunan pajak sedangkan
pada bagian lain, Undang-undang ini melarang Kementerian Keuangan untuk
membocorkan dan/atau memberitahu data wajib pajak kepada pihak lain meskipun
atas perintah Undang-Undang ? demikian halnya, di pahami secara a contrario maka
itu di legalkan secara hukum. Tetapi secara konstitusional hal demikian
menabrak asas negara hukum (pasal 1 ayat (3) UUD 1945) dan asas aqulity before
the law (pasal 27 ayat (1).
Frasa “tidak dapat” dalam pasal 22
memberikan hak kekebalan hukum (imunitas) kepada Menteri, wakil Menteri,
pegawai Kementrian Keuangan dan pihak lain yang berkaitan. Bilamana ditafsirkan
secara filosofis, maka yang dijadikan patokan untuk itu adalah UUD 1945. Jimly
asshiddique mengatakan panafsiran dengan aspek filosofis berarti ide Negara
hukum dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945[29].
Sangatlah jelas, oleh sebab UUD 1945 tidak memberikan hak kekebalan hukum
tersebut kepada Kementrian Negara sebaimana termaktub dalam pasal 17 UUD 1945.
Seyogyanya pembentuk Undang-Undang
harus memperhatikan hukum positif (hukum yang sedang berlaku) ketika membentuk
suatu Undang-Undang, mengimplementasikan prinsip-prinsip konstitusi, serta cita
negara hukum dan pancasila. Negara kita berbeda dengan dengan negara-negara
Comon Law yang dimungkinkan hukumnya bisa diandaikan/diasumsikan, sedangkan
Negara hukum Indonesia mengutamakan kepastian hukum untuk menciptakan keadilan.
Sehubungan dengan bagaimana efektifnya peraturan dibidang perpajakan agar wajib
pajak juga patuh terhadap hukum maka pemerintah juga harus benar-benar menjamin
kedudukan wajib pajak didalam hukum dan tidak menciptakan hukum yang ambigu.
B. LANGKAH YANG SENYATANYA
DIAMBIL PEMERINTAH DALAM MENANGGAPI MASALAH KEUANGAN NEGARA
Indonesia
memiliki berbagai permasalahan perpajakan antara lain penyelundupan pajak,
rendahnya penerimaan pajak, dan rendahnya kepatuhan pajak. Dengan demikian
pemerintah mulai membuat suatu program atau kebijkan dengan melihat kondisi
tersebut. Permasalahan tersebut diyakini dapat diatasi, dengan pengampunan
pajak (tax amnesty). Tax amnesty merupakan usaha pemerintah untuk menambah
sumber penerimaan pajak yang selama ini belum atau kurang dibayar, disamping
meningkatkan kepatuhan membayar pajak karena semakin efektifnya pengawasan,
semakin akuratnya informasi mengenai daftar kekayaan wajib pajak. Tax amnesty
dipercaya membuat patuh para wajib pajak untuk membayar pajaknya. Selain itu,
tax amnesty juga dipercaya menjadi sistem alat deteksi untuk mengetahui wajib
pajak mana yang tidak patuh dalam membayar pajak.
Tax
amnesty dimaksudkan untuk menghapuskan sanksi pidana. Tax amnesty juga dapat
diberikan kepada pelaporan sukarela data kekayaan wajib pajak yang tidak dilaporkan
di masa sebelumnya tanpa harus membayar pajak yang mungkin belum dibayar
sebelumnya. Dalam menetapkan perlu tidaknya tax amnesty, perlu dipertimbangkan
apa yang menjadi justifikasi dari tax amnesty dan hingga batas mana tax amnesty
dapat dijustifikasi dan harus diperhatikan terhadap apa atau harta yang
bagaimana yang di beri ampunan.
Meningkatkan
kepatuhan perpajakan Wajib Pajak merupakan tujuan pertama reformasi
administrasi perpajakan jangka menengah. Ada tiga strategi yang akan
dilaksanakan untuk mencapai tujuan ini, yaitu, pertama, dengan membuat program dan kegiatan yang diharapkan dapat
menyadarkan dan meningkatkan kepatuhan sukarela khususnya Wajib Pajak yang
selama ini belum patuh. Kedua,
meningkatkan pelayanan terhadap Wajib Pajak yang relatif sudah patuh sehingga
tingkat kepatuhan dapat dipertahankan atau ditingkatkan. Ketiga, untuk meningkatkan kepatuhan perpajakan adalah dengan
memerangi ketidakpatuhan dengan berbagai program dan kegiatan yang diharapkan
dapat menangkal ketidakpatuhan perpajakan. Tujuan pemerintah dalam
memberlakukan kebijakan tax amnesty adalah meningkatkan penerimaan pajak dalam
jangka pendek.
Permasalahan
penerimaan pajak yang stagnan atau cenderung menurun seringkali menjadi alasan
pembenar diberikannya tax amnesty. Hal ini berdampak pada keinginan pemerintah
untuk memberikan tax amnesty dengan harapan pajak yang dibayar oleh wajib pajak
selama program tax amnesty akan meningkatkan penerimaan pajak. Meski demikian,
peningkatan penerimaan pajak dari program tax amnesty ini mungkin saja hanya
terjadi selama program tax amnesty dilaksanakan mengingat wajib pajak bisa saja
kembali kepada perilaku ketidapatuhannya setelah program tax amnesty berakhir.
Dalam jangka panjang, pemberian tax amnesty tidak memberikan banyak pengaruh
yang permanen terhadap penerimaan pajak jika tidak dilengkapi dengan program
peningkatan kepatuhan dan pengawasan kewajiban perpajakan.
Permasalahan
kepatuhan pajak merupakan salah satu penyebab pemberian tax amnesty. Para
pendukung tax amnesty umumnya berpendapat bahwa kepatuhan sukarela akan
meningkat setelah program tax amnesty dilakukan. Hal ini didasari pada harapan
bahwa setelah program tax amnesty dilakukan wajib pajak yang sebelumnya belum
menjadi bagian dari sistem administrasi perpajakan akan masuk menjadi bagian
dari sistem administrasi perpajakan. Dengan menjadi bagian dari sistem
administrasi perpajakan, maka wajib pajak tersebut tidak akan bisa mengelak dan
menghindar dari kewajiban perpajakannya.
Kejujuran
dalam pelaporan sukarela atas data harta kekayaan setelah program tax amnesty
merupakan salah satu tujuan pemberian tax amnesty. Dalam konteks pelaporan data
harta kekayaan tersebut, pemberian tax amnesty juga bertujuan untuk
mengembalikan modal yang parkir di luar negeri tanpa perlu membayar pajak atas
modal yang di parkir di luar negeri tersebut. Pemberian tax amnesty atas
pengembalian modal yang di parkir di luar negeri ke bank di dalam negeri
dipandang perlu karenaakan memudahkan otoritas pajak dalam meminta informasi
tentang data kekayaan wajib pajak kepada bank di dalam negeri.
Taxamnesty
dapat dijustifikasi ketika tax amnesty digunakan sebagai alat transisi menuju
sistem perpajakan yang baru. Dalam konteks ini, tax amnesty menjadi instrumen
dalam rangka memfasilitasi reformasi perpajakan dan sebagai kompensasi atas
penerimaan pajak yang berpotensi hilang dari transisi ke sistem perpajakan yang
baru tersebut.
Atas
kondisi sekarang, pemerintah seolah-olah kaget terhadap kondisi ekonomi
indonesia yang defisit, hingga menjadikan tax amnesty sebagai alat untuk
menarik pemasukan negara dari sektor pajak dan program tersebut dimasukan
kedalam Undang-Undang untuk dijadikan dasar hukum. Apa boleh dikata semuanya
telah terjadi, ini seharusnya dijadikan pelajaran berharga untuk kedepannya. Pemerintah
jauh sebelumnya harus sudah bisa memprediksi bahwa kemampuan anggaran Negara
untuk kedepannya serta cepat bertindak Senyatanya, fungsikan Undang-Undang
perpajakan yang sedang berlaku dengan mereformasi birokratnya. Di samping itu
kita juga punya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan Negara yang Ruang
lingkup meliputi:
1. hak
negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan
pinjaman;
2. kewajiban
negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan
membayar tagihan pihak ketiga;
3. penerimaan
negara;
4. pengeluaran
negara;
5. penerimaan
daerah;
6. pengeluaran
daerah;
7.
kekayaan
negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang,
surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan
uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan
daerah;
8. kekayaan
pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas
pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
9. kekayaan
pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan
pemerintah; dan
10. kekayaan
pihak lain sebagaimana dimaksud meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau
badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan
kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara/daerah.
Seberapa pentingnya tax
amnesty tetapi harus diingat bahwa Negara mempunyai potensi pendapatan lain
selain pajak, pemerintah senyatanya memfungsikan sumber daya lain seperti yang
berkaitan dengan ESDM (energi dan sumber daya mineral). Mereformasi sistem
pengaturan ESDM dan birokrat yang lebih mantap untuk itu. Sehingga Negara
Indonesia tidak hanya semata-mata pendapatannya dari sektor perpajakan. Point
penting yang harus dijawab adalah bagaimana pemerintah dapat meningkatkan
kepatuhan warga Negara untuk membayar pajak ?
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Atas analisis yang sudah dijelaskan,
penulis menyimpulkan beberapa hal yang ada di dalam rumusan masalah, yaitu:
a. Tax amnesty dimaksudkan untuk
menghapuskan sanksi pidana. Meningkatkan kepatuhan perpajakan Wajib Pajak
merupakan tujuan pertama reformasi administrasi perpajakan jangka menengah.
Permasalahan penerimaan pajak yang stagnan atau cenderung menurun seringkali
menjadi alasan pembenar diberikannya tax amnesty. Hal ini berdampak pada
keinginan pemerintah yang berkuasa untuk memberikan tax amnesty dengan harapan pajak
yang dibayar oleh wajib pajak selama program tax amnesty akan meningkatkan
penerimaan pajak. Tujuan pemerintah dalam melakukan tax amnesty adalah untuk meningkatkan kepatuhan pajak di
masa yang akan datang, mendorong repatriasi modal atau aset yang terparkir di
luar negeri, transisi ke sistem perpajakan yang baru.
b. Peningkatan
pengawasan kewajiban perpajakan setelah program tax amnesty merupakan kunci
dari suksesnya program tax amnesty. Pengawasan kewajiban perpajakan setelah
program tax amnesty dapat meningkatkan penerimaan negara melalui pemeriksaan
atas wajib pajak yang masih menggelapkan pajak setelah program tax amnesty
berakhir. Untuk itu, otoritas pajak sebaiknya menyampaikan pesan kepada para
tax evaders bahwa mereka tidak akan menerima ketidakpatuhan tax evaders
tersebut di masa yang akan datang. Selain itu, hal ini juga dapat mengubah
pendapat wajib pajak bahwa otoritas pajak tidak sepenuhnya melakukan penegakan
hukum pajak. Tax evaders mungkin juga akan mengubah perilakunya di masa yang akan
datang karena besar kemungkinan perilaku mereka akan terdeteksi di kemudian
hari.
c. Pemberian pengampunan pajak bagi Wajib
Pajak Badan yang melakukan tindakan ilegal juga dikhawatirkan akan menimbulkan
masalah dengan rasa keadilan antar Wajib Pajak. Terutama harta wajib pajak yang
perlu dipertanyakan dan Undang-Undang tax amnesty yang bersifat ekstra
protection terhadap wajib pajak yang mengikuti program tax amnesty. Sebagaimana
diketahui bersama, bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya selalu mengharapkan
aji mumpung. Terhadap pengampunan pajak ini, pasti pengemplang pajak akan
memanfaatkan aji mumpung ini guna menghindari kewajiban pajaknya selama ini
sebelum diberikan pengampunan pajak. Hal ini kerap menjatuhkan rasa keadilan
bagi Wajib Pajak Badan yang patuh terhadap regulasi pemerintah karena di dalam
pemilihan Wajib Pajak Badan yang dipilih untuk mengikuti program ini tidak
jelas darimana kriterianya dan dikhawatirkan akan menimbulkan praktik KKN.
d. Pemerintah harus memperhatikan rasa
keadilan yang akan dialami oleh Wajib Pajak Badan lainnya karena secara
langsung maupun tidak langsung, masyarakat lah yang membantu pemerintah
menyetorkan ke anggaran pendapatan belanja negara. Rasa keadilan tersebut juga
berkaitan dengan moral hazard yang kerap dialami masyarakat Indonesia yang
diberi fasilitas sedemikian rupa sehingga lupa dengan kewajibannya untuk
memberi timbal balik ke negara. Tax ratio juga harus diperhatikan karena hal
tersebut adalah hal esensial. Secara sederhana perolehan penerimaan pajak akan
besar bila diterapkan tarif yang tinggi. Demikian pula apabila diterapkan tarif
rendah, maka akan diperoleh penerimaan pajak yang kecil, tetapi demikian
disimpulkan bahwa dalam penerapannya banyak bergantung pada basis pajak (tax
base) yang dihadapi.
Memang dalam sebuah negara
setidak-tidaknya ada 4 unsur yang sangat berpengaruh dalam kestabilan sebuah negara yakni: politik dan sosial budaya, ekonomi, agama,
Hukum dan Pertahanan. Namun yang ingin penulis tegaskan adalah bahwa negara
indonesia adalah negara hukum bukan negara ekonomi.
B. SARAN
Ada
beberapa saran yang dapat disampaikan terkait pelaksanaan Undang-Undang tax amnesty di Indonesia, antara lain
sebagai berikut :
1.
Penerapan tax amnesty harus dilandasi payung hukum
yang tidak berpotensi bertantangan dengan sistem hukum maupun konstitusi,
supaya tidak ada warga negara yang mengajukan uji materiil ke lembaga
berwenang, sehingga wajib pajakpun tidak gelisah ketika mengikuti program ini.
Memberikan batasan khusus mengenai kedudukan hukum wajib pajak dan harta wajib
pajak, mencabut pasal yang memberikan hak kekebalan terhadap menteri terkait
dengan memperhatikan prinsip konstitusi.
2.
Pemberian kebijakan
pengampunan pajak semestinya tidak hanya menghapus hak tagih atas wajib pajak
(WP) tetapi yang lebih penting lagi adalah memperbaiki kepatuhan WP, sehingga
pada jangka panjang dapat meningkatkan penerimaan pajak.
3.
Implementasi tax amnesty dapat diterapkan bila
syarat-syarat keterbukaan dan akses informasi terhadap masyarakat terpenuhi
oleh karena itu harus menggunakan tax
amnesty bersyarat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku :
Asshiddique,
Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara.Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2014.
Farida, Maria.
Ilmu Perundang-Undangan. Yogyakarta:
Kanisius, 2007.
Mertokusumo,
Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Penganta.
Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2010.
Oka, I Ketut, Metodologi Penelitian , Modul Pada Mata
Kuliah Metode Penelitian
Semester IV Univ. Tama
Jagakarsa, 2014.
Soekanto,
Soerjono. Penganatar penelitian Hukum.
Cet. 3. Jakarta: UI-Press, 2008
Sinamo,
Nomensen. Pengantar Hukum Indonesia.
Jakarta: BIS, 2011.
Sinamo,
Nomensen. Hukum Administrasi Negara.
Cet. 2. Jakarta: Jala Permata Aksara, 2012.
Perundang-Undangan:
,
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
,
Undang-Undang Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 12 Tahun 2011, LN No. 82 Tahun 2011,
TLN No. 5234.
,
Undang-Undang Tentang Pengampunan Pajak,
UU No. 11 Tahun 2016, LN No. 131 Tahun 2016, TLN No. 5899.
,
Undang-Undang Tentang Perubahan Ketiga
Atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara
Perpajakan, UU No 28 Tahun 2007. LN
No. 85 Tahun 2007, TLN No.
,
Undang-Undang Tentang Keuangan Negara,
UU No. 17 Tahun 2003, LN No. 47 Tahun 2003. TLN No.4286.
Internet :
http://www.pengampunanpajak.com
info@pengampunanpajak.com
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=13270#.WC_cb8tEnMw
https://hamdanzoelva.wordpress.com/2009/05/30/negara-hukum-dalam-perspektif-pancasila/
http://www.kemenkeu.go.id/apbn2016
https://diplomasiekonomi.kemlu.go.id/images/taxamnesty/Paparan%20Tax%20Amnesty.pdf
LAMPIRAN REFERENSI
[1] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, ( Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2014), hal. 119
[2] Ibid, hal. 11
[3] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum suatu Pengantar ( Jogyakarta:
Cahaya Atma Pustaka, 2010), hal. 25
[4] Ibid, hal. 26
[6] I Ketut Oka Setiawan, “Metodologi Penelitian” , (Modul diSampaikan
Pada Mata Kuliah Metode Penelitian Semester I V Univ. Tama Jagakarsa, 2014 )
hal. 4
[7] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cek . 3 (Jakarta: Universitas Indonesia Press,
2008), hal. 250
[8] Diakses dari
https://diplomasiekonomi.kemlu.go.id/images/taxamnesty/Paparan%20Tax%20Amnesty.pdf
[9] Indonesia, Undang-Undang Pengampunan pajak, UU No. 11 tahun
2016, T.L.N. No . 5899, Bagian Menimbang.
[10] Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan,(Jogyakarta:
Kanisius, 2007), hal. 235
[11] Ibid, hal. 237
[12] Lihat pasal Pasal 5 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 yang menyebutkan ‘’Dalam
membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: a.)
kejelasan tujuan; b.) kelembagaan atau
pejabat pembentuk yang tepat; c.) kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi
muatan; d.) dapat dilaksanakan; e.) kedayagunaan dan kehasilgunaan; f.)
kejelasan rumusan; dan g.) keterbukaan”.
[13] Indonesia, Undang-Undang Pengampunan pajak, UU No. 11 tahun
2016, T.L.N. No . 5899, Bagian Mengingat.
[14] Indrayati, loc. cit
[15] Ibid, hal. 236
[18]
Lihat pasal 20 ayat 5 UUD 1945 “dalam
rancangan yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden
dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan Undang-Undang di setujui,
rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib
diundangkan”. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
peraturan perundang-Undangan pasal 1 point 3 menyebutkan “Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden”.
[28]
Lihat Pasal 2 Pancasila merupakan sumber
segala sumber hukum negara. Pasal 3 (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam
Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 7 (1) Jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan
Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
[29] Asshiddique, op. Cit, hal. 222