contoh pembuatan legal opinion (LO)
Yang bertanda tangan
dibawah ini:
Nama ............ advokat/penasehat hukum
pada,..... beralamat di
......................
Dengan ini, memberikan pendapat
hukum (Legal Opinion) terhadap kasus masyarakat hukum adat Kabupaten Berlian
atas permintaan klien kami tertanggal 20 September 2016.
Legal
Opinion Terhadap Masalah Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Berlian
Kasus
Posisi
Dahulu ada Kerajaan
Berlian (sekarang Kabupaten Berlian)
yang mempunyai adat istiadat yang sangat kuat. Dalam perjalanan datang
penjajah Belanda atau Perusahaan Belanda yang menunjuk orang-orangnya untuk
membantunya dalam tata pemerintahan di wilayah itu (Kerajaan Berlian dan/atau Kabupaten
Berlian). Saat ini lebih bisa bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat
sehingga kewajiban CSR (Corporate Social Responsibility) yang harusnya menjadi
hak milik masyarakat hukum adat justru diterima para turunan “Mantan Pegawai
Belanda”.
Permasalahan
CSR (Corporate Social
Responsibility) merupakan kewajiban perusahaan dan hak masyarakat dimana
perusahaan tersebut beroperasi. Tidak dibenarkan secara hukum apabila hal
tersebut yang seharusnya menjadi hak masyarakat hukum adat Kerajaan Berlian (sekarang
Kabupaten Berlian) justru diterima oleh Pemda dan/atau turunan Mantan Pegawai
Belanda.
Dasar
Hukum
1.
Undang-Undang Dasar Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahaan Daerah;
3.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Pokok-Pokok Agraria;
4.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
5.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang PT;
6.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Penanaman Modal;
7.
Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012 Tentang
Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perseroan Terbatas;
8.
Surat Edaran Menhut
No.SE.1-Menhut-II-2013 Tentang Putusan MK No.35 Tahun 2013.
Analisis
Menurut Pasal
18B ayat 1 dan 2 UUD Tahun 1945 bahwa Negara melindungi dan menjamin tiap-tiap
masyarakat hukum adat serta tanah ulayat
sepanjang masih hidup dan tidak bertentangan dengan prinsip NKRI.
pengertian oleh UN
Economic and Sosial Council (dalam Keraf, 2010: 361) masyarakat adat atau
tradisional adalah suku-suku dan bangsa yang karena mempunyai kelanjutan
historis dengan masyarakat sebelum masuknya penjajah di wilayahnya, menganggap
dirinya berbeda dari kelompok masyarakat lain yang hidup di wilayah
mereka". Masyarakat hukum adat menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam BAB I Pasal 1 butir 31 menyatakan “Masyarakat
hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di
wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya
hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang
menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum”. Bertolak dari definisi diatas maka eksistensi
masyarakat hukum adat tidak dapat dilepaskan dan/atau terpisahkan dari tanah di
lingkungan wilayahnya yang di sebut tanah ulayat. Tanah ulayat adalah tanah
kepunyaan bersama suatu masyarakat hukum adat yakni kewenangan untuk mengelola,
mengatur, dan memimpin penguasaan, pemeliharaan peruntukan dan penggunaannya
dilakukan secara bersama-sama. Ketentuan tentang tanah ulayat dan/atau hak
ulayat di tegaskan dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Pokok-Pokok Agraria bahwa hukum tanah (agraria) di Indonesia tetap mengakui hak
ulayat sepanjang tidak bertantangan dengan kepentingan nasional dan Negara. Oleh sebab itu,
masyarakat hukum adat Kerajaan Berlian (Kabupaten Berlian) diakui secara hukum. selanjutnya tanggung jawab pemerintah daerah
sebagai satu kesatuan atau bagian dari pemerintahan dan/atau wakil pemerintahan
pusat di daerah, wajib melindungi dan menjamin eksistensi masyarakat hukum adat
berikut hak-hak ulayatnya.
Berkaitan dengan kasus ini, CSR (corporate social
responsibility) merupakan hak bagi
masyarakat hukum adat Berlian dan kewajiban bagi Perusahaan (perusahaan
Belanda). Ketentuan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan Berdasarkan Pasal
15 Undang-Undang 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, menyatakan setiap
penanaman modal berkewajiban:
1.
Menerapkan prinsip tata kelola
perusahaan yang baik.
2.
Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.
3.
Membuat laporan tentang kegiatan
penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi penanaman modal.
4.
Menghormati tradisi budaya masyarakat
sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal; dan
5.
Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam penjelasan Pasal 15 huruf b Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 menjelaskan
tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap
menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai,
norma, dan budaya masyarakat setempat. Jika penanam modal tidak melakukan kewajibannya
untuk melaksanakan Tanggung jawabnya, maka berdasarkan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, penanam modal dapat
dikenai sanksi adminisitatif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha;
c. pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas
penanaman modal; atau
d. pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas
penanaman modal.
Selain dikenai sanksi administratif, penanam modal juga dapat dikenai
sanksi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 34 ayat (3) UU Nomor 25 Tahun 2007).
Tanggung jawab sosial
perusahaan (CSR) berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas beserta peraturan pelaksananya yakni Peraturan Pemerintah
Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan
Terbatas. Dalam UU PT, pengaturan mengenai CSR hanya terdapat dalam 1 (satu)
pasal yakni Pasal 74. Pasal 74 menegaskan Perseroan yang menjalankan kegiatan
usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib
melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, yang mana kewajiban tersebut
dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya
dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Apabila kewajiban
tersebut tidak dijalankan maka akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut
ditegaskan pula mengenai tujuan diberlakukannya kewajiban CSR, “untuk tetap
menciptakan hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan
lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat.
CSR merupakan kewajiban
bagi perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya
alam atau perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya
alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya
alam. Atas amanat Pasal 74 ayat (4) UU PT
pemerintah menerbitkan peraturan lebih lanjut yakni Peraturan Pemerintah
Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Salah satu pengaturan pentingnya, dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 diatur pelaksanaan
tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Dalam kasus ini
berdasarkan kronologisnya bahwa penjajah Belanda dan/atau perusahaan Belanda
telah melakukan kewajiban hukum sebagaimana mestinya, namun bukan pada subjek
yang tepat yakni pada masyarakat hukum adat Kerajaan Berlian (sekarang
Kabupaten Berlian). Demikian halnya Pemerintah Daerah setempat,
setidak-tidaknya Pemda setempat lebih tau dan/atau lebih memahami urusan rumah
tangga dalam hal asal-usul Daerah dan mayarakat Kabupaten Berlian (dahulu
Kerajaan Berlian). secara hukum kewenangan urusan ini adalah kewenangan
pemerintah pusat dan dilimpahkan kepada daerah sesuai dengan pasal 30 ayat 7
dan 8 UU Penanaman Modal.
Maka berdasarkan
ketentuan Perundang-Undangan, CSR mestinya diterima oleh masyarakat hukum adat
Kerajaan Berlian dan bukan oleh Pemda maupun Mantan Pegawai keturunan Belanda. Bahwa
setiap penanaman modal asing di wilayah
NKRI berkewajiban melaksanakan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan perundang-undang.
Oleh sebab itu, patut diduga bahwa pemda setempat melakukan perbuatan melawan
hukum (onrechtmatigedaad).
Kesimpulan
1.
Berdasarkan keseluruhan peraturan
perundang-undangan terkait, Masyarakat hukum adat Kabupaten Berlian (dahulu
Kerajaan Berlian), berhak menerima CSR dan bukan Mantan Pegawai Belanda maupun
Pemda setempat.
2.
Pemerintah atas nama Negara (pusat
maupun Daerah) wajib melindungi segenap masyarakat hukum adat dalam wilayah
NKRI tanpa terkecuali termasuk Kerajaan Berlian.
Saran
Dengan ini kami menyarankan:
1.
Terhadap pemerintah setempat, dengan
dikeluarkannya Surat Edaran Menhut No.SE.1-Menhut-II-2013 tentang Putusan MK
No.35 Tahun 2013 yang ditujukan untuk seluruh Gubernur diseluruh Indonesia,
Bupati/Walikota seluruh Indonesia dan seluruh Kepala Dinas
Propinsi/kabupaten/Walikota yang membidangi urusan Kehutanan sebaiknya
menempatkan perlindungan hukum atas masyarakat hukum adat kerajaan Berlian
kedalam bentuk peraturan dalam hal ini Perda (Peraturan Derah), supaya bilamana
terjadi sengketa/masalah adat, penyelesaiannya jelas dan pasti.
2.
Terhadap klien, sebisa mungkin
diupayakan musyarawah, bila tidak mencapai mufakat masyarakat hukum adat
Kabupaten Berlian (dahulu Kerajaan Berlian) dapat menempuh mekanisme hukum
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.