Tampilkan postingan dengan label PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESI DALAM MENJALANKAN FUNGSI LEGISLASI.. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESI DALAM MENJALANKAN FUNGSI LEGISLASI.. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 28 Januari 2017

JUDUL
PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESI DALAM MENJALANKAN FUNGSI LEGISLASI.

            Dewan Perwakilan Daerah dilahirkan dan ditampilkan sebagai salah satu lembaga perwakilan rakyat yang akan menjembatani kebijakan (policy), dan regulasi pada skala nasional oleh pemerintah (pusat) di satu sisi dan daerah di sisi lain. Terjadi perubahan strategi dari pola representasi kepentingan daerah melalui penempatan utusan daerah di MPR kepada pola representasi melalui dewan yang khusus ditugasi konstitusi untuk memperjuangkan kepentingan daerah, yang tugas-tugasnya dirinci dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945, jauh berbeda dengan utusan daerah yang dikenal selama ini (Bab VII A Pasal 22C Juncto Pasal 22D). Meskipun DPD itu bertugas di pusat pemerintahan, namun DPD tidak terlepas dari konteks dan situasi serta kondisi daerah, termasuk kerangka hukum konstitusi (constitutional frame) yang menjadi paradigma yuridis konstitusional bagi penyelenggara pemerintahan di daerah. Jimly Assiddique menyebut sebagai perwakilan teritorial (regional representation).[1]
            Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) mengenai penyelenggaraan negara dilakukan dengan mempertegas kekuasaan dan wewenang lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara. Sistem yang hendak dibangun adalah sistem hubungan yang berdasar check and balances (keseimbangan antar lembaga negara), dengan tujuan untuk membatasi kekuasaan setiap lembaga negara berdasarkan UUD 1945. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah sebuah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan perubahan UUD 1945. Pembentukan DPD merupakan upaya konstitusional yang dimaksudkan untuk lebih mengakomodasi suara daerah yang memberi saluran, sekaligus peran kepada daerah-daerah.
            UUD 1945 menempatkan kedudukan DPD yang setara dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden, sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 22D Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) UUD 1945. Ayat (1) menyebutkan bahwa DPD dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang bidang tertentu (yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah). Ayat (2) menyebutkan bahwa DPD ikut membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) bidang tertentu serta memberikan pertimbangan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. Ayat (3) menyebutkan bahwa DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang bidang tertentu serta yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
            Pengaturan lebih lanjut mengenai kewenangan DPD tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3).
            Rancangan Undang-Undang dari DPD dan DPR dilakukan harmonisasi di Badan Legislatif (Baleg) DPR dan selanjutnya diklaim (berganti baju) sebagai RUU DPR. Demikian juga dalam keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU bidang tertentu, DPD tidak diberikan ruang artikulasi lebih, dalam pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sebagai instrument pembahasan RUU di DPR. Kedudukan DPD sebagai lembaga negara dipersamakan dengan kedudukan fraksi atau alat kelengkapan DPR dalam pembahasan RUU di DPR.
Dewan Perwakilan Daerah dalam kurun waktu dari Oktober 2004 sampai dengan Maret 2016 telah mengajukan 39 RUU, 184 pandangan dan pendapat, 60 pertimbangan dan 110 hasil pengawasan. Dari seluruh RUU, pandangan dan pendapat, dan pertimbangan tersebut yang telah disampaikan ke DPR tidak ada tindak lanjutnya sebagaimana amanat UUD 1945 untuk melibatkan DPD dalam proses pengajuan, pembahasan dan pertimbangan Rancangan Undang-Undang.
            Dilihat dari kedudukannya sebagai lembaga baru dalam ranah legislatif, kehadiran DPD bisa ditafsirkan pada tiga corak parlemen yang saat ini berlaku di beberapa negara. Ketiganya ialah, Monocameral Parliamentary System, Bicameral Parliamentary System, dan Tricameral Parliamentary System. 3 Perbedaan pandangan dan tafsir itu dilatarbelakangi oleh adanya penafsiran yang berbeda terhadap klausula konstitusi Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa : “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Salah satu materi muatan dalam rangka perubahan ketiga UUD 1945 adalah mengenai posisi MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pasca Pemilihan Umum 2004.
            DPD apabila dilihat dalam konteks perkembangan historisnya merupakan representasi teritorial di dalam tipologi sistem parlemen di Indonesia, sekarang ini DPD boleh dikatakan sebagai upaya institusionalisasi representasi teritorial keterwakilan wilayah di dalam tripologi sistem parlemen kita, dari prespektif historis, DPD bukanlah hal yang baru, hal ini dikarenakan sejak tahun 1945 utusan daerah telah diadopsi dalam UUD 1945, hanya saja tidak dilembagakan. Jadi institusionalisasi atau pelembagaan DPD inilah yang dikatakan baru.
            Usaha pelembagaan Dewan Perwakilan Daerah dalam parlemen MPR justru menghasilkan Parlemen Bicameral yang memiliki watak timpang yang luar biasa. Ketimpangan-ketimpangan itu ada pada tiga aspek yaitu, susunan dan keanggotaan, wewenang, dan mekanisme pengambilan keputusan. Telah kita ketahui bahwa jumlah anggota DPD tidak boleh lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR. Ketimpangan ini akan lebih terasa lagi apabila dihubungkan dengan mekanisme kerja DPD dalam joint session antara DPR dan DPD, dengan keanggotaan yang hanya sepertiga anggota DPR (bahkan kurang) maka usulan-usulan ataupun pandangan-pandangan dari DPD haruslah meminta “belas kasihan” terus menerus dari DPR karena jumlah anggota kedua lembaga yang tidak berimbang.
            DPD mempunyai fungsi atau wewenang legislasi, fungsi pertimbangan, dan fungsi pengawasan, tetapi wewenang DPD tersebut ternyata tidak mempunyai daya ikat, dengan tidak adanya ketentuan-ketentuan daya ikat mengenai fungsi legislasi, pertimbangan, dan pengawasan dalam undang-undang menjadikan usaha meningkatkan representasi politik dengan pelembagaan DPD menjadi sia-sia belaka. Sejalan dengan itu Refly Harun mengatakan dalam buku Hukum Tata Negara oleh Nomensen Sinamo “ bahwa dari semua hak dan kewajiban DPD yang tercantum dalam dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, tidak ada satupun yang bersifat menentukan (determinan) karena semuanya bergantung pada kemauan (political will) DPR.[2]  Hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk mengakaji lebih jauh dalam bentuk karya tulis ilmiah (skripsi) dengan judul “PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA DALAM MENJALANKAN FUNGSI LEGISLASI ”.




  [1]               Jimly Assiddique, pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, RajaGranfindo Persada, Jakarta, 2014, hal. 306
  [2]              Nomensen Sinamo, Hukum Tata Negara, Edisi Revisi, Permata Aksara, Jakarta, 2012, hal. 70