Tampilkan postingan dengan label Analisis Asas Nemo Judex in Causa Sua dalam Pengujian UU terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitus. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Analisis Asas Nemo Judex in Causa Sua dalam Pengujian UU terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitus. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 10 Desember 2016

Analisis Asas Nemo Judex in Causa Sua dalam Pengujian UU terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi


Analisis asas nemo judex in causa sua
oleh: Agus Roni Roma Arbaben
(Anggota Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Jakarta) 


A.      Tinjauan Umum tentang Mahkamah Konstitusi
          Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat. DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003. Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945[1].
          Paradigma susunan kelembagaan negara mengalami perubahan drastis sejak reformasi konstitusi mulai 1999 sampai dengan 2002. Karena berbagai alasan dan kebutuhan, lembaga-lembaga negara baru dibentuk, meskipun ada juga lembaga yang dihapuskan. MK termasuk lembaga yang baru dibentuk. MK didesain menjadi pengawal dan sekaligus penafsir terhadap Undang-Undang Dasar melalui putusan-putusannya.
          Meski demikan, menurut Jimly asshiddhique sebenarnya ide pengujian Undang-Undang sebagai mekanisme peradilan konstitusional (constitutional adjudication) untuk membanding, menilai, atau menguji hasil kerja mekanisme demokrasi politik yang sudah sejak sebelum kemerdekaan telah diperdebatkan oleh the “founding leaders” kita dalam sidang-sidang BPUPKI, ketika UUD 1945 pertama kali disusun[2].  Hanya saja berbagai pertimbangan yang di pertimbangkan waktu itu maka dalam UUD 1945 (sebelum amandemen) tidak dimasukan ketentuan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
          Mahkamah Konstitusi dianggap perlu dibentuk sebab setelah perubahan UUD 1945 terjadi perubahan besar dalam sistem ketatanegaraan Negara Republik Indonesia. Jimly Asshiddique berpendapat:
“Pada pokoknya, pembentukan Mahkamah Konstitusi perlu dilakukan karena bangsa kita melakukan perubahan mendasar atas UUD 1945. Dalam rangka Perubahan Pertama  sampai  Perubahan  Keempat  UUD  1945,  bangsa  kita  telah  mengadopsikan prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan, yaitu antara lain prinsip pemisahan kekuasaan dan ‘checks  and  balances’  sebagai penggganti sistem supremasi  parlemen yang berlaku sebelumnya. Dengan perubahan tersebut, prinsip negara hukum yang dianut dipertegas dengan (a) diaturnya mekanisme penegakan hukum dimulai  dari  penegakan konstitusi sebagai hukum tertinggi, (b) dipandang perlu untuk diadakan mekanisme guna memutus sengketa kewenangan yang mungkin terjadi antar lembaga-lembaga yang mempunyai kedudukan yang satu sama lain bersifat sederajat, yang kewenangannya ditentukan dalam UUD, (c) perlu dilembagakan adanya peranan hukum dan hakim yang dapat mengontrol proses dan produk keputusan-keputusan politik yang hanya mendasarkan diri pada prinsip ‘majority rule’. Karena itu, fungsi-fungsi judicial review atas konstitusionalitas undang-undang dan proses pengujian hukum atas tuntutan pemberhentian terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dikaitkan dengan fungsi MK. Di samping itu, (d) juga diperlukan adanya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan yang timbul yang tidak dapat diselesaikan malalui proses peradilan yang biasa,  seperti  sengketa  hasil  pemilu  dan  tuntutan  pembubaran  sesuatu  partai  politik”[3].
          Seperti yang telah disinggung penulis pada  bagian latar belakang (sub Bab1) makalah ini bahwa Perubahan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C amandemen ketiga (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) memisahkan antara kekuasaan kehakiman dalam ranah peradilan umum dengan peradilan perlindungan konstitusionalitas. Peradilan umum dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya, Sedangkan peradilan konstitusionalitas dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga kekuasaan kehakiman di luar Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD, Sedangkan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang diberikan kepada Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi menguji the constitutionality of legislative law or legislation, sedangkan Mahkamah Agung menguji the legality or regulation. Sehingga pengujian undang-undang dibagi ke dalam dua kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
          Untuk menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pengawal (the guardian of constitutions) dan penafsir ( the interpreter of constitutions) Konstitusi, MK-RI mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangan diberikan oleh Undang-Udang Dasar, memutus perbubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum serta memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar[4]. Ketentuan-ketentuan lainnya mengenai MK-RI diatur lebih lanjut dengan UU 24/2003 sebagaimana diubah dengan UU 8/2011 tentang MK-RI dan UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sesuai dengan Identifikasi Masalah yang tentu berdasarkan judul makalah ini, maka penulis membatasi analisis masalah hanya yang berkaitan dengan kewenangan MK-RI menguji Undang-Undang terhadap Undang Dasar (judicial review) yang akan di analisis pada sub Bab selanjutnya.

B.      Pengujian Undang-Undang (judial review)
          Pengujian atas Undang-Undang dilakukan dengan tolok ukur Undang-Undang Dasar. Sebagaimana hukum pada umumnya Undang-Undang merupakan salah satu Hukum tertulis yang dibuat oleh DPR bersama Presiden untuk sebagai landasan hukum penyelenggaraan kekuasaan negara. Menurut Nomensen Sinamo Undang –Undang ialah suatu peraturan Negara yang mengikat umum, diadakan dan dipelihara oleh penguasa Negara[5]. Dalam konteks pengujian Undang-Undang, Jimly Asshiddique berpendapat:
“Undang-Undang merupakan produk demokrasi atau produk banyak orang. Jika Undang-Undang telah dibahas dan disetujui bersama oleh DPR dan presiden, kemudian disahkan oleh Presiden sebagaimana mestinya, berarti Undang-Undang yang bersangkutan telah mencerminkan kehendak politik mayoritas suara rakyat melalui pemilihan umum. Namun demikian, suara mayoritas yang tercermin dalam Undang-Undang tidaklah identik dengan suara seluruh rakyat yang tercermin dalam Undang-Undang Dasar. Suara mayoritas tidak selalu identik dengan suara keadilan dan kebenaran kontitusi”[6]  
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut diatas penulis menarik kesimpulan:
1.    Undang-Undang merupakan produk demokrasi (politik rakyat) ;
2.    Suara mayoritas masyarakat;
3.    Dibahas dan disetujui oleh DPR dan Presiden kemudian disahkan oleh Presiden;
4.    Mengikat umum;
5.    Namun tidak identik dengan suara suluruh rakyat yang tercermin dalam UUD tahun 1945.

          Mengingat Negara Indonesia adalah Negara Hukum (rechtstaat) dengan prinsip demokrasi konstitusional, serta menempatkan pancasila sebagai norma fundamental Negara (staatfundametalnorm) dan UUD 1945 sebagai norma dasar (Grundnorm) sesuai dengan teori “die theorie vom stufenordnung der rechtnormen” Hans Nawiasky dan “stufentheorie” dari Hans Kelsen[7], maka kebenaran (materiil dan formil) suatu Undang-Undang harus diuji berdasarkan kebenaran dan keadilan Konstitusi. Oleh sebab itu, jika Undang-Undang bertantangan dengan Undang-Undang Dasar, Undang-Undang itu tidak baik sebagian materinya atau seluruhnya dapat dinyatakan tidak mengikat untuk umum[8] oleh Mahkamah Kontitusi (constitutions court). Jadi secara singkat, judicial review/constitutional review bertujuan untuk melindungi setiap individu/warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin dalam konstitusi[9].
          Pengujian Undang-Undang (judicial review) tidak besifat sengketa (contentious) yang berkenaan dengan adanya para pihak dalam sebuah perkara atau kepentingan orang perorangan. Akan tetapi, menyangkut kepentingan kolektif semua orang sebagai bangsa. Seperti yang dikatakan Jimly Asshiddique pengujian Undang-Undang menempatkan Undang-Undang sebagai objek peradilan[10]. Artinya objek yang dimohonkan di Peradilan Konstitusi (constitutional adjudication) dengan objek yang di perkarakan peradilan dibawa MA adalah berbeda. Jimly juga mengatakan pemeriksaan pengujian Undang-Undang dapat dilakukan secara materiil (materiile toetsing) atau secara formil (formele toetsing). Jika pengujian dilakukan atas materi undang-Undang, maka hal itu dapat disebut pengujian formil. Sedangkan jika pengujian itu dilakukan atas selain materi Undang-Undang, maka hal itu dapat disebut pengujian materiil[11]. Misalnya, pengujian atas proses prosedural terbentuknya Undang-Undangnya itu ataupun atas proses adminintratif pengundangan dan pemberlakuannya untuk umum yang ternyata bertangangan dengan Undang-Undang Dasar ataupun prosedur yang didasarkan pada Undang-Undang Dasar.

c.       Asas Nemo Judex in Causa Sua
          Berdasarkan pasal 17 ayat          (3) UU 48/2009 tentang kekuasan kehakiman yang berbunyi:
“Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera”. Hal mana dapat juga kita lihat dalam peraturan MK-RI berbunyi[12] “Menjaga jarak untuk tidak berhubungan langsung ataupun tidak langsung, baik dengan pihak yang berperkara maupun dengan pihak lain dan tidak mengadakan kolusi dengan siapapun yang berkaitan atau dapat diduga berkaitan dengan perkara yang akan atau sedang ditangani, sehingga dapat mempengaruhi obyektivitas atau citra mengenai obyektivitas putusan yang akan dijatuhkan”. Asas tersebut berlaku umum untuk semua lingkungan peradilan sebab diatur oleh Undang-Undang (UU kekuasaan Kehakiaman) Organik (perintah UUD 1945)[13], yang dalam bahasa latin disebut nemo judex in causa sua (larangan memutus hal-hal yang berkaitan dengan dirinya sendiri). Asas ini disebut oleh Yanis Maladi sebagai salah satu asas hukum beracara Mahkamah Konstitusi yang digunakan dalam setiap proses peradilan di Indonesia karena asas ini merupakan perwujudan dari imparsialitas (ketidak-berpihakan/impartiality) hakim sebagai pemberi keadilan[14]. Berkaitan dengan prinsip Imparsialitas (impartiality) dalam kekuasaan kehakiman, Jimly Asshiddique mengatakan secara umum ada dua prinsip yang biasa dipandang sangat pokok dalam sistem peradilan, yaitu (i) the principle of judicial independence, dan (ii) the principle of judicial impartiality. Kedua prinsip ini diakui sebagai prasyarat pokok sistem disemua negara yang disebut hukum modern ( modern constitutional law)[15]
Masih menurut Jimly:
“ketidakberpihakan (impartiality principle) merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya. Ketidakberpihakan mencakup sikap netral, menjaga jarak yang sama dengan semua pihak yang terkait dengan perkara, dan tidak mengutamakan salah satu pihak mana pun, disertai penghayatan yang mendalam menegenai keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara. Prinsip ketidakberpihakan senantiasa melekat dan harus tercermin dalam setiap tahapan proses pemeriksaan perkara sampai kepada tahap pengambilan keputusan sehingga putusan pengadilan dapat benar-benar diterima sebagai solusi hukum yang adil bagi semua pihak yang berperkara dan oleh masyarakat luas pada umunya”[16]
          Sejak berdirinya Mahkamah Konstitusi tepatnya pada tanggal 13 Agustus 2003 dengan diundangkannya UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sudah pernah dilakukan beberapa kali pengujian Undang-Undang yang berkaitan dengan MK-RI (UU MR-RI maupun UU kekuasaan kehakiman) sebagaimana yang penulis uraikan pada bagian Latarbelakang Makalah ini (Bab1 point A). Permohonan pengujian undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi yang dilakukan di Mahkamah Konstitusi menjadi problem tersendiri bagi perkembangan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, karena terdapatnya asas hukum yang mengatur tentang larangan mengadili suatu perkara yang berhubungan dengan yang mengadili perkara tersebut, yakni asas seorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri (nemo judex in causa sua). Sebagai salah satu asas dalam hukum acara, Mahkamah Konstitusi tidak boleh menyimpanginya. Artinya, alasan berperkara di Mahkamah Konstitusi tidak sama dengan berperkara di pengadilan biasa, tidak dijadikan argumentasi untuk mengabaikan asas nemo judex in causa sua. Namun, belum ada argumentasi yang dapat menjelaskan hal ini secara tuntas. seperti yang diterangkan Moh Mahfud MD, bahwa terdapat putusan Mahkamah Konstitusi yang dapat dinilai melanggar asas nemo judex in causa sua (larangan memutus hal-hal menyangkut dengan dirinya sendiri)[17]. Penolakan Mahkamah Konstitusi untuk menjadi objek pengawasan etik oleh Komisi Yudisial adalah salah satu contoh sesungguhnya Mahkamah menyimpangi asas peradilan yang berlaku umum, yaitu asas nemo judex in causa sua (tidak seorang pun dapat menjadi hakim atas perkaranya sendiri). Namun, dalam putusan tersebut sebetulnya terjadi benturan antara asas hukum acara nemo judex idoneus in propria causa/nemo judex in causa sua dan asas hukum acara ius curia novit (hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada hukumnya). Menariknya, kedua asas tersebut dianut Mahkamah Konstitusi dan memenangkan asas ius curia novit dan mengenyampingkan asas nemo judex idoneus in propria causa. ada tiga alasan Mahkamah harus mengadili permohonan pengujian undang-undang ini, yaitu: (i) tidak ada forum lain yang bisa mengadili permohonan ini; (ii) Mahkamah tidak boleh menolak mengadili permohonan yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada atau tidak jelas mengenai hukumnya; dan (iii) kasus ini merupakan kepentingan konstitusional bangsa dan negara, bukan semata-mata kepentingan institusi Mahkamah itu sendiri atau kepentingan perseorangan hakim konstitusi yang sedang menjabat. Namun demikian, dalam mengadili permohonan ini tetaplah Mahkamah imparsial dan independen. Mahkamah memastikan untuk memutus permohonan ini berdasarkan salah satu kewenangan yang diberikan oleh Pasal 24C Ayat (1) UUD Tahun 1945, yaitu menguji apakah pasal-pasal yang dimohon pengujian bertentangan dengan UUD Tahun 1945 atau tidak[18]. Dalam pada itu, adanya penerapan prinsip imparsialitas tidak dapat dijadikan alasan untuk mengesampingkan kewajiban konstitusional yang lebih utama untuk memeriksa dan memutus permohonan, sehingga Mahkamah Konstitusi lebih menekankan pada fungsi dan tugasnya mengawal dan mempertahankan konstitusi dengan tetap menjaga prinsip imparsialitas dalam keseluruhan proses. Oleh karena itu, asas nemo judex idoneus in propria causa (niemand is geschikt om als rechter in zijn eigen zaak op te treden), yaitu tidak seorang pun dapat menjadi hakim dalam perkaranya sendiri, tidak dapat diterapkan dalam berbagai kasus[19].
Terhadap alasan Mahkamah diatas Yanis Maladi berpendapat:    
“Pertimbangan hukum hakim konstitusi diatas ingin menegaskan bahwa hakim konstitusi memiliki kewenangan untuk mengadili perkara yang dimohonkan berdasarkan kewenangan langsung yang diberikan oleh konstitusi. Oleh karenanya, maka menjadi sebuah kewajiban bagi Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan permasalahan konstitusional yang diajukan kepadanya. Menariknya disini adalah dalam perkara ini tampak terjadi sebuah benturan asas hukum acara yang kesemuanya dianut oleh Mahkamah Konstitusi. Ketika Mahkamah Konstitusi mencoba menyelesaikan kasus ini dengan menggunakan asas ius curia novit, disisi lain Mahkamah Konstitusi berhadapan dengan asas hukum acaranya juga yakni asas nemo judex in causa sua”[20].
          Masih menurut Yanis, pengesampingan asas nemo judex idoneus in propria causa Mahkamah Konstitusi dalam Argumentasi pada amar putusannya tersebut, mencoba menjelaskan mengenai apa sebenarnya pengertian dari prinsip imparsialitas. Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa, prinsip imparsialitas sebenarnya dititik beratkan hanya dalam proses pemeriksaan perkara biasa, seperti yang menyangkut perkara perdata atau pidana, dalam hal mana faktor konflik kepentingan individual merupakan obyek sengketa (objectum litis) yang diperiksa  dan diadili hakim. Berbeda dengan kasus yang ditangani Mahkamah Konstitusi, dimana proses peradilan kasus a quo di Mahkamah Konstitusi objectum litis-nya adalah masalah konstitusionalitas undang-undang yang lebih menyangkut kepentingan publik yang dijamin oleh konstitusi sebagai hukum yang tertinggi (supreme law), bukan semata-mata kepentingan individual. Oleh karena itu, dalam kasus a quo, penerapan prinsip imparsialitas tidak dapat dijadikan alasan untuk mengesampingkan kewajiban konstitusional yang lebih utama untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo, sehingga Mahkamah Konstitusi lebih menekankan pada fungsi dan tugasnya mengawal dan mempertahankan konstitusi dengan tetap menjaga prinsip imparsialitas dalam keseluruhan proses.  Oleh karena itu asas nemo judex idoneus in propria causa (niemand is geschikt om als rechter in zijn eigen zaak op te treden) tidak bisa diterapkan dalam perkara judicial review ini. dan inilah yang menjadi alasan utama Mahkamah Konstitusi untuk mengesampingkan asas hukum acara tersebut.
          Setelah mencermati beberapa putusan MK-RI yang berkaitan dengan pengujian Undang-Undang menyangkut dirinya sebagai “hakim konstitusi” maka ternyata makna ketidakberpihakan (impartiality principle) seperti yang dikatakan Jimly Asshiddique tersebut diatas, pada prakteknya tidak mempengaruhi Mahkamah untuk menyimpangi asas nemo judex in causa sua. Bukan tidak mungkin jika ada lagi perkara yang sama pastilah mahkamah akan menjadikan putusannya sebagai yurisprudensi dan ini akan menjadi pintu masuk untuk pengujian UU MK-RI pasal 22 terkait dengan masa jabatan hakim konstitusi yang sekarang sedang di periksa oleh mahkamah.
          Imparsialitas hakim harus terlihat pada gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusannya pada hukum dan fakta-fakta di persidangan, bukan atas dasar keterkaitan dengan salah satu pihak yang berperkara, bukan pula menjadi pemutus perkaranya sendiri. Imparsialitas hakim konstitusi telah diatur dalam UU 48/2009, UU 24/2003 dan juga dalam kode etik (sapta Karsa Hutama). Imparsialitas proses peradilan hanya dapat dilakukan, jika hakim dapat melepaskan diri dari konflik kepentingan atau faktor semangat pertemanan (collegial) dengan pihak yang berperkara, karenanya hakim harus mengundurkan diri dari proses persidangan jika melihat adanya potensi imparsialitas[21]. Dalam konteks sistem hukum Indonesia, hakim harus mengundurkan diri kalau dirinya memiliki hubungan semenda dengan salah satu pihak yang berperkara atau diperiksa di muka pengadilan. Karenanya, hakim harus mengundurkan diri dari proses persidangan jika ia melihat ada potensi imparsialitas. dengan demikian argumentasi ini menegaskan bahwa hakim tidak boleh menyimpangi asas nemo judex in causa sua.




BAB III
PENUTUP
  
A.      Kesimpulan
          Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara konstitusi secara independen, termasuk untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD Tahun 1945. Imparsialitas sebagai prinsip etik yang bersifat universal untuk menghindari konflik kepentingan (conflict of interest). Guna menjamin tegak dan dilaksanakannya konstitusi itulah keberadaan Mahkamah Konstitusi menjadi keniscayaan, Menurut penulis prinsip imparsialitas mestinya juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam semua ranah peradilan, baik dibawah Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi, ini untuk menjamin objektifitas hakim yang memutus perkara hukum, terutama fungsi MK-RI sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitutions) dan penafsir UUD 1945 (the entepreter of constitutions).
           
B. Saran
          Setelah Penulis memperhatikan latar belakang dan dasar pemikiran MK-RI dalam memutus perkara yang berkaitan dengan dirinya sebagai “Hakim Konstitusi”, Yang menjadi salah satu alasan ialah “Norma persidangan yang mewajibkan hakim mengundurkan diri jika ternyata perkara yang sedang diadilinya menyangkut kepentingannya sendiri, sama sekali bukan berarti meragukan imparsialitas dan integritas pribadi para hakim”. melainkan merupakan kepatutan yang telah diakui secara universal. Pengujian konstitusionalitasnya tetap terbuka tetapi bukan oleh Mahkamah Konstitusi melalui judicial review, melainkan oleh pembuat undang-undang melalui pengujian legislatif (legislative review). Yang bisa menjadi salah satu mekanisme pengujian Undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi. Bagaimana hukum acara pengujian itu dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, UUD menyerahkan hal itu untuk diatur oleh undang-undang. Dengan demikian undang-undang yang mengatur Mahkamah Konstitusi sepanjang mengenai hukum acara Mahkamah Konstitusi bekedudukan setara dengan konstitusi dan Mahkamah Konstitusi wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan undang-undang itu.
          Pasal 24C UUD Tahun 1945 tidak memberikan pembatasan atas undang-undang mana saja yang boleh dan tidak boleh diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Pembatasan dalam menguji suatu undang undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh ketentuan Undang Undang Dasar hanya dapat ditarik dari pemahaman dan penafsiran atas seluruh ketentuan UUD itu sendiri. Memperhatikan ketentuan pasal 24C ayat (6) UUD NRI Tahun 1945, secara tegas menentukan bahwa pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahakamah Konstitusi diatur dengan undang-undang. Dengan dasar ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Konstitusi tunduk pada hukum acara dan pengankatan serta pemberhentian  yang ditentukan oleh undang-undang. Oleh sebab pembentukan Undang-Undang merupakan domainnya legislatif, maka dari itu mekanisme elegan yang dapat diambil untuk memperbaiki UU yang berkaitan dengan MK-RI adalah pengujian melalui legislatif (legislative review). Bukan menjadi pemutus atas perkaranya diri sendiri.




                [1] Diakses dari www.mahkamahkonstitusi.go.id
                [2] Jimly Asshiddique, Pokok Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi (Jakarta: Buana Ilmu Populer,  2007), hal. 581
                [3] kedudukan-mahkamah-konstitusi-dalam-struktur-ketatanegaraan-indonesia Di akses dari www.jimlyschool.com
                [4] Lihat pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD  tahun 1945.
                [5] Nomensen Sinamo, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: BIS, 2011), hal. 15
                [6] Jimly Assiddique, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, ( Jakarta: RajaWali Pers, 2014), hal. 270
                [7] Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, (Jogyakarta: Kanisius, 2007), hal. 44
                [8]  Assiddique, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Loc. Cit
                [9] Yanis Maladi “Benturan Asas Nemo Judex Idoneus In Propria Causa dan Asas Ius Curia Novit” (Telaah Yuridis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006), Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 2, April 2010. Diakses dari ejournal.mahkamahkonstitusi.go.id

                [10] Asshiddique, Pokok Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Op. Cit, hal. 589
                [11] Ibid.
                [12] Lihat pasal 3 ayat (1)d Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 02/PMK/2003 tentang Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi.
                [13] Lihat pasal 24 ayat (3) dan pasal 25 UUD  Tahun 1945.
                [14] Yanis Maladi, Op.Cit
                [15] Asshiddique, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Op. Cit, hal. 316
                [16] Ibid, hal. 318
                [17] Diakses dari  www.kompas.com
                [18] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, hlm. 62-63.
                [19]  . Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. hlm.153.
                [20] Yanis Maladi, Op.Cit
                [21] Ibid.