Analisis asas nemo judex in causa sua
oleh: Agus Roni Roma Arbaben
(Anggota Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Jakarta)
A.
Tinjauan Umum tentang Mahkamah
Konstitusi
Sejarah
berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya ide MK
(Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan
Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil
Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan MK
merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang
muncul di abad ke-20. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam
rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan
fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan
UUD 1945 hasil Perubahan Keempat. DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan
Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan
mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden
pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor
4316). Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui
Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama
kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi
di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003. Lembaran perjalanan MK
selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober
2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang
kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945[1].
Paradigma susunan kelembagaan negara
mengalami perubahan drastis sejak reformasi konstitusi mulai 1999 sampai dengan
2002. Karena berbagai alasan dan kebutuhan, lembaga-lembaga negara baru dibentuk,
meskipun ada juga lembaga yang dihapuskan. MK termasuk lembaga yang baru
dibentuk. MK didesain menjadi pengawal
dan sekaligus penafsir terhadap
Undang-Undang Dasar melalui putusan-putusannya.
Meski
demikan, menurut Jimly asshiddhique sebenarnya ide pengujian Undang-Undang
sebagai mekanisme peradilan konstitusional (constitutional
adjudication) untuk membanding, menilai, atau menguji hasil kerja mekanisme
demokrasi politik yang sudah sejak sebelum kemerdekaan telah diperdebatkan oleh
the “founding leaders” kita dalam sidang-sidang BPUPKI, ketika UUD 1945 pertama
kali disusun[2].
Hanya saja berbagai pertimbangan yang di
pertimbangkan waktu itu maka dalam UUD 1945 (sebelum amandemen) tidak dimasukan
ketentuan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Mahkamah Konstitusi dianggap perlu
dibentuk sebab setelah perubahan UUD 1945 terjadi perubahan besar dalam sistem
ketatanegaraan Negara Republik Indonesia. Jimly Asshiddique berpendapat:
“Pada
pokoknya, pembentukan Mahkamah Konstitusi perlu dilakukan karena bangsa kita
melakukan perubahan mendasar atas UUD 1945. Dalam rangka Perubahan Pertama sampai
Perubahan Keempat UUD
1945, bangsa kita
telah mengadopsikan
prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan, yaitu antara lain prinsip
pemisahan kekuasaan dan ‘checks and balances’
sebagai penggganti sistem supremasi
parlemen yang berlaku sebelumnya. Dengan perubahan tersebut, prinsip
negara hukum yang dianut dipertegas dengan (a) diaturnya mekanisme penegakan
hukum dimulai dari penegakan konstitusi sebagai hukum tertinggi,
(b) dipandang perlu untuk diadakan mekanisme guna memutus sengketa kewenangan
yang mungkin terjadi antar lembaga-lembaga yang mempunyai kedudukan yang satu
sama lain bersifat sederajat, yang kewenangannya ditentukan dalam UUD, (c)
perlu dilembagakan adanya peranan hukum dan hakim yang dapat mengontrol proses
dan produk keputusan-keputusan politik yang hanya mendasarkan diri pada prinsip
‘majority rule’. Karena itu, fungsi-fungsi judicial review atas konstitusionalitas
undang-undang dan proses pengujian hukum atas tuntutan pemberhentian terhadap
Presiden dan/atau Wakil Presiden dikaitkan dengan fungsi MK. Di samping itu,
(d) juga diperlukan adanya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan
yang timbul yang tidak dapat diselesaikan malalui proses peradilan yang
biasa, seperti sengketa
hasil pemilu dan
tuntutan pembubaran sesuatu
partai politik”[3].
Seperti
yang telah disinggung penulis pada
bagian latar belakang (sub Bab1) makalah ini bahwa Perubahan Pasal 24
ayat (2) dan Pasal 24C amandemen ketiga (3) Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) memisahkan antara kekuasaan kehakiman dalam
ranah peradilan umum dengan peradilan perlindungan konstitusionalitas.
Peradilan umum dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya,
Sedangkan peradilan konstitusionalitas dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi
sebagai lembaga kekuasaan kehakiman di luar Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi
diberikan kewenangan melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD, Sedangkan
pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap
undang-undang diberikan kepada Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi menguji the constitutionality of legislative law or
legislation, sedangkan Mahkamah Agung menguji the legality or regulation. Sehingga pengujian undang-undang dibagi ke
dalam dua kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Untuk menjalankan tugas dan
kewajibannya sebagai pengawal (the
guardian of constitutions) dan penafsir ( the interpreter of constitutions) Konstitusi, MK-RI mempunyai
kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangan diberikan oleh Undang-Udang
Dasar, memutus perbubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum serta memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
menurut Undang-Undang Dasar[4].
Ketentuan-ketentuan lainnya mengenai MK-RI diatur lebih lanjut dengan UU
24/2003 sebagaimana diubah dengan UU 8/2011 tentang MK-RI dan UU 48/2009
tentang Kekuasaan Kehakiman. Sesuai dengan Identifikasi Masalah yang tentu
berdasarkan judul makalah ini, maka penulis membatasi analisis masalah hanya
yang berkaitan dengan kewenangan MK-RI menguji Undang-Undang terhadap Undang
Dasar (judicial review) yang akan di
analisis pada sub Bab selanjutnya.
B. Pengujian Undang-Undang (judial
review)
Pengujian
atas Undang-Undang dilakukan dengan tolok ukur Undang-Undang Dasar. Sebagaimana
hukum pada umumnya Undang-Undang merupakan salah satu Hukum tertulis yang
dibuat oleh DPR bersama Presiden untuk sebagai landasan hukum penyelenggaraan
kekuasaan negara. Menurut Nomensen Sinamo Undang –Undang ialah suatu peraturan
Negara yang mengikat umum, diadakan dan dipelihara oleh penguasa Negara[5]. Dalam
konteks pengujian Undang-Undang, Jimly Asshiddique berpendapat:
“Undang-Undang merupakan produk demokrasi atau produk
banyak orang. Jika Undang-Undang telah dibahas dan disetujui bersama oleh DPR
dan presiden, kemudian disahkan oleh Presiden sebagaimana mestinya, berarti
Undang-Undang yang bersangkutan telah mencerminkan kehendak politik mayoritas
suara rakyat melalui pemilihan umum. Namun demikian, suara mayoritas yang
tercermin dalam Undang-Undang tidaklah identik dengan suara seluruh rakyat yang
tercermin dalam Undang-Undang Dasar. Suara mayoritas tidak selalu identik
dengan suara keadilan dan kebenaran kontitusi”[6]
Berdasarkan pendapat
para ahli tersebut diatas penulis menarik kesimpulan:
1. Undang-Undang
merupakan produk demokrasi (politik rakyat) ;
2. Suara
mayoritas masyarakat;
3. Dibahas
dan disetujui oleh DPR dan Presiden kemudian disahkan oleh Presiden;
4. Mengikat
umum;
5. Namun
tidak identik dengan suara suluruh rakyat yang tercermin dalam UUD tahun 1945.
Mengingat Negara Indonesia adalah
Negara Hukum (rechtstaat) dengan
prinsip demokrasi konstitusional, serta menempatkan pancasila sebagai norma
fundamental Negara (staatfundametalnorm)
dan UUD 1945 sebagai norma dasar (Grundnorm)
sesuai dengan teori “die theorie vom stufenordnung der rechtnormen” Hans
Nawiasky dan “stufentheorie” dari Hans Kelsen[7], maka
kebenaran (materiil dan formil) suatu
Undang-Undang harus diuji berdasarkan kebenaran dan keadilan Konstitusi. Oleh
sebab itu, jika Undang-Undang bertantangan dengan Undang-Undang Dasar,
Undang-Undang itu tidak baik sebagian materinya atau seluruhnya dapat
dinyatakan tidak mengikat untuk umum[8] oleh
Mahkamah Kontitusi (constitutions court).
Jadi secara singkat, judicial review/constitutional review bertujuan untuk
melindungi setiap individu/warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh
lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin dalam
konstitusi[9].
Pengujian
Undang-Undang (judicial review) tidak
besifat sengketa (contentious) yang
berkenaan dengan adanya para pihak dalam sebuah perkara atau kepentingan orang
perorangan. Akan tetapi, menyangkut kepentingan kolektif semua orang sebagai
bangsa. Seperti yang dikatakan Jimly Asshiddique pengujian Undang-Undang
menempatkan Undang-Undang sebagai objek peradilan[10]. Artinya
objek yang dimohonkan di Peradilan Konstitusi (constitutional adjudication) dengan objek yang di perkarakan
peradilan dibawa MA adalah berbeda. Jimly juga mengatakan pemeriksaan pengujian
Undang-Undang dapat dilakukan secara materiil (materiile toetsing) atau secara formil (formele toetsing). Jika pengujian dilakukan atas materi undang-Undang,
maka hal itu dapat disebut pengujian formil. Sedangkan jika pengujian itu
dilakukan atas selain materi Undang-Undang, maka hal itu dapat disebut
pengujian materiil[11].
Misalnya, pengujian atas proses prosedural terbentuknya Undang-Undangnya itu
ataupun atas proses adminintratif pengundangan dan pemberlakuannya untuk umum
yang ternyata bertangangan dengan Undang-Undang Dasar ataupun prosedur yang
didasarkan pada Undang-Undang Dasar.
c. Asas Nemo Judex in Causa Sua
Berdasarkan pasal 17 ayat (3) UU 48/2009 tentang kekuasan
kehakiman yang berbunyi:
“Seorang
hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan
keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau
istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota,
jaksa, advokat, atau panitera”. Hal mana dapat juga kita lihat dalam peraturan
MK-RI berbunyi[12]
“Menjaga jarak untuk tidak berhubungan langsung ataupun tidak langsung, baik
dengan pihak yang berperkara maupun dengan pihak lain dan tidak mengadakan
kolusi dengan siapapun yang berkaitan atau dapat diduga berkaitan dengan
perkara yang akan atau sedang ditangani, sehingga dapat mempengaruhi
obyektivitas atau citra mengenai obyektivitas putusan yang akan dijatuhkan”.
Asas tersebut berlaku umum untuk semua lingkungan peradilan sebab diatur oleh
Undang-Undang (UU kekuasaan Kehakiaman) Organik (perintah UUD 1945)[13], yang
dalam bahasa latin disebut nemo judex in causa sua (larangan memutus hal-hal
yang berkaitan dengan dirinya sendiri). Asas ini disebut oleh Yanis Maladi
sebagai salah satu asas hukum beracara Mahkamah Konstitusi yang digunakan dalam
setiap proses peradilan di Indonesia karena asas ini merupakan perwujudan dari
imparsialitas (ketidak-berpihakan/impartiality)
hakim sebagai pemberi keadilan[14]. Berkaitan
dengan prinsip Imparsialitas (impartiality)
dalam kekuasaan kehakiman, Jimly Asshiddique mengatakan secara umum ada dua
prinsip yang biasa dipandang sangat pokok dalam sistem peradilan, yaitu (i) the
principle of judicial independence, dan (ii) the principle of judicial
impartiality. Kedua prinsip ini diakui sebagai prasyarat pokok sistem disemua
negara yang disebut hukum modern ( modern
constitutional law)[15].
Masih
menurut Jimly:
“ketidakberpihakan
(impartiality principle) merupakan prinsip
yang melekat dalam hakikat fungsi hakim sebagai pihak yang diharapkan
memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya.
Ketidakberpihakan mencakup sikap netral, menjaga jarak yang sama dengan semua
pihak yang terkait dengan perkara, dan tidak mengutamakan salah satu pihak mana
pun, disertai penghayatan yang mendalam menegenai keseimbangan antar
kepentingan yang terkait dengan perkara. Prinsip ketidakberpihakan senantiasa
melekat dan harus tercermin dalam setiap tahapan proses pemeriksaan perkara
sampai kepada tahap pengambilan keputusan sehingga putusan pengadilan dapat
benar-benar diterima sebagai solusi hukum yang adil bagi semua pihak yang
berperkara dan oleh masyarakat luas pada umunya”[16].
Sejak berdirinya Mahkamah Konstitusi
tepatnya pada tanggal 13 Agustus 2003 dengan diundangkannya UU 24/2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, sudah pernah dilakukan beberapa kali pengujian
Undang-Undang yang berkaitan dengan MK-RI (UU MR-RI maupun UU kekuasaan
kehakiman) sebagaimana yang penulis uraikan pada bagian Latarbelakang Makalah
ini (Bab1 point A). Permohonan pengujian undang-undang tentang Mahkamah
Konstitusi yang dilakukan di Mahkamah Konstitusi menjadi problem tersendiri
bagi perkembangan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, karena
terdapatnya asas hukum yang mengatur tentang larangan mengadili suatu perkara
yang berhubungan dengan yang mengadili perkara tersebut, yakni asas seorang
tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri (nemo judex in causa sua). Sebagai salah satu asas dalam hukum
acara, Mahkamah Konstitusi tidak boleh menyimpanginya. Artinya, alasan
berperkara di Mahkamah Konstitusi tidak sama dengan berperkara di pengadilan
biasa, tidak dijadikan argumentasi untuk mengabaikan asas nemo judex in causa
sua. Namun, belum ada argumentasi yang dapat menjelaskan hal ini secara tuntas.
seperti yang diterangkan Moh Mahfud MD, bahwa terdapat putusan Mahkamah
Konstitusi yang dapat dinilai melanggar asas nemo judex in causa sua (larangan
memutus hal-hal menyangkut dengan dirinya sendiri)[17]. Penolakan
Mahkamah Konstitusi untuk menjadi objek pengawasan etik oleh Komisi Yudisial adalah
salah satu contoh sesungguhnya Mahkamah menyimpangi asas peradilan yang berlaku
umum, yaitu asas nemo judex in causa sua (tidak seorang pun dapat menjadi hakim
atas perkaranya sendiri). Namun, dalam putusan tersebut sebetulnya terjadi
benturan antara asas hukum acara nemo judex idoneus in propria causa/nemo judex
in causa sua dan asas hukum acara ius curia novit (hakim tidak boleh menolak
perkara dengan alasan tidak ada hukumnya). Menariknya, kedua asas tersebut
dianut Mahkamah Konstitusi dan memenangkan asas ius curia novit dan mengenyampingkan
asas nemo judex idoneus in propria causa. ada tiga alasan Mahkamah harus
mengadili permohonan pengujian undang-undang ini, yaitu: (i) tidak ada forum
lain yang bisa mengadili permohonan ini; (ii) Mahkamah tidak boleh menolak
mengadili permohonan yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada atau tidak
jelas mengenai hukumnya; dan (iii) kasus ini merupakan kepentingan
konstitusional bangsa dan negara, bukan semata-mata kepentingan institusi
Mahkamah itu sendiri atau kepentingan perseorangan hakim konstitusi yang sedang
menjabat. Namun demikian, dalam mengadili permohonan ini tetaplah Mahkamah imparsial
dan independen. Mahkamah memastikan untuk memutus permohonan ini berdasarkan
salah satu kewenangan yang diberikan oleh Pasal 24C Ayat (1) UUD Tahun 1945,
yaitu menguji apakah pasal-pasal yang dimohon pengujian bertentangan dengan UUD
Tahun 1945 atau tidak[18]. Dalam
pada itu, adanya penerapan prinsip imparsialitas tidak dapat dijadikan alasan untuk
mengesampingkan kewajiban konstitusional yang lebih utama untuk memeriksa dan memutus
permohonan, sehingga Mahkamah Konstitusi lebih menekankan pada fungsi dan tugasnya
mengawal dan mempertahankan konstitusi dengan tetap menjaga prinsip imparsialitas
dalam keseluruhan proses. Oleh karena itu, asas nemo judex idoneus in propria causa
(niemand is geschikt om als rechter in zijn eigen zaak op te treden), yaitu
tidak seorang pun dapat menjadi hakim dalam perkaranya sendiri, tidak dapat
diterapkan dalam berbagai kasus[19].
Terhadap
alasan Mahkamah diatas Yanis Maladi berpendapat:
“Pertimbangan
hukum hakim konstitusi diatas ingin menegaskan bahwa hakim konstitusi memiliki
kewenangan untuk mengadili perkara yang dimohonkan berdasarkan kewenangan
langsung yang diberikan oleh konstitusi. Oleh karenanya, maka menjadi sebuah
kewajiban bagi Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan permasalahan
konstitusional yang diajukan kepadanya. Menariknya disini adalah dalam perkara
ini tampak terjadi sebuah benturan asas hukum acara yang kesemuanya dianut oleh
Mahkamah Konstitusi. Ketika Mahkamah Konstitusi mencoba menyelesaikan kasus ini
dengan menggunakan asas ius curia novit, disisi lain Mahkamah Konstitusi
berhadapan dengan asas hukum acaranya juga yakni asas nemo judex in causa sua”[20].
Masih menurut Yanis, pengesampingan
asas nemo judex idoneus in propria causa Mahkamah Konstitusi dalam Argumentasi
pada amar putusannya tersebut, mencoba menjelaskan mengenai apa sebenarnya
pengertian dari prinsip imparsialitas. Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa,
prinsip imparsialitas sebenarnya dititik beratkan hanya dalam proses
pemeriksaan perkara biasa, seperti yang menyangkut perkara perdata atau pidana,
dalam hal mana faktor konflik kepentingan individual merupakan obyek sengketa (objectum litis) yang diperiksa dan diadili hakim. Berbeda dengan kasus yang
ditangani Mahkamah Konstitusi, dimana proses peradilan kasus a quo di Mahkamah
Konstitusi objectum litis-nya adalah masalah konstitusionalitas undang-undang
yang lebih menyangkut kepentingan publik yang dijamin oleh konstitusi sebagai
hukum yang tertinggi (supreme law),
bukan semata-mata kepentingan individual. Oleh karena itu, dalam kasus a quo,
penerapan prinsip imparsialitas tidak dapat dijadikan alasan untuk
mengesampingkan kewajiban konstitusional yang lebih utama untuk memeriksa dan
memutus permohonan a quo, sehingga Mahkamah Konstitusi lebih menekankan pada
fungsi dan tugasnya mengawal dan mempertahankan konstitusi dengan tetap menjaga
prinsip imparsialitas dalam keseluruhan proses.
Oleh karena itu asas nemo judex idoneus in propria causa (niemand is
geschikt om als rechter in zijn eigen zaak op te treden) tidak bisa diterapkan
dalam perkara judicial review ini. dan inilah yang menjadi alasan utama
Mahkamah Konstitusi untuk mengesampingkan asas hukum acara tersebut.
Setelah mencermati beberapa putusan
MK-RI yang berkaitan dengan pengujian Undang-Undang menyangkut dirinya sebagai
“hakim konstitusi” maka ternyata makna ketidakberpihakan (impartiality principle) seperti yang dikatakan Jimly Asshiddique
tersebut diatas, pada prakteknya tidak mempengaruhi Mahkamah untuk menyimpangi
asas nemo judex in causa sua. Bukan tidak mungkin jika ada lagi perkara yang
sama pastilah mahkamah akan menjadikan putusannya sebagai yurisprudensi dan ini
akan menjadi pintu masuk untuk pengujian UU MK-RI pasal 22 terkait dengan masa
jabatan hakim konstitusi yang sekarang sedang di periksa oleh mahkamah.
Imparsialitas hakim harus terlihat
pada gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusannya pada hukum dan
fakta-fakta di persidangan, bukan atas dasar keterkaitan dengan salah satu
pihak yang berperkara, bukan pula menjadi pemutus perkaranya sendiri. Imparsialitas hakim konstitusi telah diatur
dalam UU 48/2009, UU 24/2003 dan juga dalam kode etik (sapta Karsa Hutama).
Imparsialitas proses peradilan hanya dapat dilakukan, jika hakim dapat
melepaskan diri dari konflik kepentingan atau faktor semangat pertemanan (collegial) dengan pihak yang berperkara,
karenanya hakim harus mengundurkan diri dari proses persidangan jika melihat
adanya potensi imparsialitas[21]. Dalam
konteks sistem hukum Indonesia, hakim harus mengundurkan diri kalau dirinya
memiliki hubungan semenda dengan salah satu pihak yang berperkara atau
diperiksa di muka pengadilan. Karenanya, hakim harus mengundurkan diri dari
proses persidangan jika ia melihat ada potensi imparsialitas. dengan demikian
argumentasi ini menegaskan bahwa hakim tidak boleh menyimpangi asas nemo judex
in causa sua.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara konstitusi secara
independen, termasuk untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD Tahun 1945.
Imparsialitas sebagai prinsip etik yang bersifat universal untuk menghindari
konflik kepentingan (conflict of interest).
Guna menjamin tegak dan dilaksanakannya konstitusi itulah keberadaan Mahkamah
Konstitusi menjadi keniscayaan, Menurut penulis prinsip imparsialitas mestinya
juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam semua ranah peradilan, baik
dibawah Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi, ini untuk menjamin
objektifitas hakim yang memutus perkara hukum, terutama fungsi MK-RI sebagai pengawal
konstitusi (the guardian of constitutions) dan penafsir UUD 1945 (the entepreter of constitutions).
B. Saran
Setelah Penulis memperhatikan latar
belakang dan dasar pemikiran MK-RI dalam memutus perkara yang berkaitan dengan
dirinya sebagai “Hakim Konstitusi”, Yang menjadi salah satu alasan ialah “Norma
persidangan yang mewajibkan hakim mengundurkan diri jika ternyata perkara yang
sedang diadilinya menyangkut kepentingannya sendiri, sama sekali bukan berarti
meragukan imparsialitas dan integritas pribadi para hakim”. melainkan merupakan
kepatutan yang telah diakui secara universal. Pengujian konstitusionalitasnya
tetap terbuka tetapi bukan oleh Mahkamah Konstitusi melalui judicial review,
melainkan oleh pembuat undang-undang melalui pengujian legislatif (legislative
review). Yang bisa menjadi salah satu mekanisme pengujian Undang-undang tentang
Mahkamah Konstitusi. Bagaimana hukum acara pengujian itu dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi, UUD menyerahkan hal itu untuk diatur oleh undang-undang.
Dengan demikian undang-undang yang mengatur Mahkamah Konstitusi sepanjang
mengenai hukum acara Mahkamah Konstitusi bekedudukan setara dengan konstitusi
dan Mahkamah Konstitusi wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan undang-undang
itu.
Pasal 24C UUD Tahun 1945 tidak
memberikan pembatasan atas undang-undang mana saja yang boleh dan tidak boleh
diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Pembatasan dalam menguji suatu undang undang
terhadap Undang-Undang Dasar oleh ketentuan Undang Undang Dasar hanya dapat
ditarik dari pemahaman dan penafsiran atas seluruh ketentuan UUD itu sendiri.
Memperhatikan ketentuan pasal 24C ayat (6) UUD NRI Tahun 1945, secara tegas
menentukan bahwa pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara
serta ketentuan lainnya tentang Mahakamah Konstitusi diatur dengan
undang-undang. Dengan dasar ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa Mahkamah
Konstitusi tunduk pada hukum acara dan pengankatan serta pemberhentian yang ditentukan oleh undang-undang. Oleh
sebab pembentukan Undang-Undang merupakan domainnya legislatif, maka dari itu
mekanisme elegan yang dapat diambil untuk memperbaiki UU yang berkaitan dengan
MK-RI adalah pengujian melalui legislatif (legislative
review). Bukan menjadi pemutus atas perkaranya diri sendiri.
constitution law
BalasHapus